Drama Kisah Sengsara Tuhan (3)

Kisah sebelumnya...

Diceritakan bagaimana Yesus mengadakan Ekaristi. Pemberian diri sepenuhnya, memberikan tubuh dan darahnya sebagai makanan dan minuman. Pemberian diri itu akan dipenuhi dalam kematian di salib.
Kisah pemberian diri itu dilanjutkan dengan drama kemanusiaan Yesus di taman Getshemani. Kita dipertontonkan sisi manusiawi Yesus, Yesus yang benar-beanr takut bukan rekayasa. Bagaimana malaikat mencoba menopang Dia. Mungkin teks yang tersaji kurang menampilkan itu dengan teliti, tetapi apa yang ada di balik itu semua sungguh menguras emosi. Kisah dilanjutkan dengan penangkapan Yesus. Sekarang kita simak kisah Yesus yang diadili.

#babak VIII : Di hadapan Sanhedrin (Mat 26:57-68)

Setelah ditangkap, Yesus dibawa ke pengadilan Agama Yahudi (Sanhedrin). Semuanya serba terburu-buru. Hari masih amat pagi, bahkan matahari belum menampakkan diri. Tetapi persoalan itu harus segera diatasi, itu piker sebagian dari mereka.
Agak aneh bahwa pada hari sepagi itu, di pengadilan agama sudah berkumpul banyak orang, Imam kepala Kayafas dan lain-lainnya. Mengapa mereka tidak mau menunggu beberapa saat sehingga hari segera terang dan seluruh anggota lengkap berkumpul. Itulah konspirasi. Itulah drama. Harus ada yang menegangkan, harus ada intrik di dalamnya. 
Mulailah dicari kesaksian palsu untuk menghukum Yesus. Dasarnya bukan karena Yesus berbuat salah. Dasarnya adalah mereka sangat membenci Yesus. Kebencian itu sudah berakar di hati mereka dan itulah dasar dari semuanya. Tidak perlu pembuktian benar hitam di atas putih. Kebencian bisa menciptakan semuanya. Menciptakan alasan, menciptakan bukti dan saksi.


Tuhan, kiranya engkau menjauhkan kebencian dalam diri kami, sehingga kami tidak dikaburkan oleh amarah dan dendam. Biarlah pengalaman hidup kami menjadi serat-serat yang menyaring dan memurnikan, bukan debu-debu pemupuk kebencian dan dendam.


#babak IX : Petrus menyangkal (Mat 26:69-75)

Di pengadilan agama, putusan telah dijatuhkan. Di luar kegaduhan juga terjadi. Ada beberapa murid yang mencoba mengikuti Yesus dari jauh. Salah satunya adalah Petrus yang tadi begitu gagah berkata akan rela mati demi Sang Guru. Sekarang dia duduk takut-takut di antara orang yang menghangatkan badan di luar gedung pengadilan.
Adalah perempuan-perempuan yang bekerja di gedung tersebut mengenali Petrus. Dengan tegas perempuan itu berkata kepada Petrus, “Engkau juga selalu bersama dnegan orang Galilea itu.” Petrus menyangkal lalu pindah ke dekat pintu gerbang.
Di sana ada perempuan lain yang mengenali Petrus. Kontan saja dia berkata, “orang ini bersama-sama dengan Yesus orang Nazareth itu.” Petrus kembali menyangkal “Aku tidak kenal orang itu!”
Jawaban Petrus mengundang orang-orang di sekitar untuk datang. Mereka juga mengenali Petrus dan berkata, “Pasti engkau salah satu dari mereka. Itu jelas sekali dari bahasamu!”
Petrus kembali menyangkal. Bukan hanya menyangkal, dia juga mengutuk dan bersumpah. “Aku tidak kenal orang itu!” Setelah itu terdengarlah kokok ayam sebanyak tiga kali. Maka teringatlah dia akan kata Gurunya, “Sebelum ayam berkokok tiga kali engkau telah menyangkal aku tiga kali.”
Petrus sedih. Ia pergi keluar sambil menangis dan sedih. Dia tidak pernah berniat mengkhianati Gurunya, tidak pernah. Tetapi dia takut. Ketakutan itu begitu menyengat sehingga seluruh kesadaranpun hilang lenyap.

Ya Tuhan, ampunilah aku. Tak jarang aku bersikap seperti Petrus menyangkal Engkau dalam kehidupan sehari-hari. Ada banyak ketakutan yang membuat aku seolah tidak mengenal Engkau. Ada ketakutan akan kehilangan rasa hormat, ada ketakutan akan kehilangan pamor, kehilangan pekerjaan, kehilangan kenikmatan. Tuhan ampunilah aku.

#babak X : Dihadapkan kepada Pilatus (Mat 27:1-2)

Rakyat yang berkumpul adalah masa yang hanya ikut apa keputusanpara elite. Pemimpin berkata A, mereka bersorah A, pemimpin berkata merah, mereka bersorak merah. Mereka sesungguhnya tidak memiliki persoalan pribadi dengan Yesus. Mereka hanya mengikuti apa kemauan pemimpin.
Juga tidak semua pemimpin setuju dengan pendapat untuk membunuh Yesus. Mereka juga tidak memiliki kewenangan untuk menjatuhkan hukuman mati. Maka mereka membawa Yesus kepada Pilatus, gubernur pemerintah Roma yang memiliki kewenangan untuk menjatuhkan hukuman.


Ya Tuhan, kami juga kerap seperti rakyat yang hanya ikut ke kanan dan ke kiri. Tidak memiliki pedoman untuk berdiri dan menentukan sikap. Kerap kami hanyut dalam arus dan kemudian menyesal. Tuhan bantulah kami untuk berani bersikap, dan menjadikan SabdaMu sebagai pegangan dalam hidup.

#babak XI : Kematian Yudas (Mat 27:3-10)

Si pengkhianat itu insyaf tetapi terlambat. Sahabat yang ia jual seharga 30 keping perak ternyata memang tidak bersalah, tidak melakukan perlawanan, tidak mendatangkan bala bantuan dari surga. Si pengkhianat itu insyaf, tetapi terlambat.
Dia mencoba menahan, dia mencoba memutar waktu. Dia datangi petinggi agama, dia katakana bahwa dia telah khilaf dengan menjual orang tak bersalah. Dia kembalikan uang bayaran. Tetapi petinggi agama tidak peduli. Mereka tidak mau tahu, yang penting mereka sudah mendapat apa yang mereka cari.
Si pengkhinat makin bingung dan khilaf. Ada takut ada sesal, tetapi semua terlambat. Dia telah membunuh orang benar. Dia telah menjual orang tak bersalah. Pikirannya buntu, hatinya beku, semua tak menentu. Maka ada secercah terang datang dari neraka. Mengakhiri hidup adalah langkah sempurna. Dari pada hidup menanggung malu karena menjual orang benar maka mati lebih baik. Itu pikirnya. Dan ia pun menggantung diri. Uang yang ia dapat dari menjual Yesus dibelikan sebidang tanah untuk menguburkan si pengkhianat.

Tuhan, jauhkan aku dari segala niat jahat. Berilah aku pikiran dan hati terang untuk bertobat. Jangan biarkan hati dan pikrianku beku sehingga tidak melihat jalan keselamatan yang Engkau tunjukkan.

#babakXII : Di hadapan Pilatus (Mat 27:11-26)

Yesus sudah berada di hadapan Pilatus. Seperti anak domba yang kelu di hadapan yang akan membunuhnya. Pilatus terpaksa bertindak sebagai hakim atas permintaan para pemuka Yahudi. Pilatus yang mewakili pemerintah Romawi berusaha bertindak adil.
Dia mulai bertanya beberapa hal yang memungkinkan Yesus dituntun hukuman mati atau sebaliknya dibebaskan. Di sini Pilatus tidak menemukan satu kesalahanpun yang memungkinkan Yesus dijatuhi hukuman mati.
Apalagi setelah Pilatus menerima pesan dari istrinya yang menceritakan bahwa orang ini adalah orang suci. Rupanya istri Pilatus telah mengenal Yesus. Mungkin dengan diam-diam telah mengikuti sepak terjang Yesus. Bahkan ada yang mengatakan bahwa istri Pilatus telah beberapa kali ikut mendnegarkan pengajaran Yesus, meskipun dengan sembunyi-sembunyi.
Maka Pilatus berusaha membebaskan Yesus. Namun para pemuka umat Yahudi dan rang-orang Farisi terus mendesak Pilatus untuk menjatuhkan hukuman mati. Bahkan ketika Pilatus memberi pilihan untuk memilih antara Yesus dan Barabas, mereka memilih Barabas.
Harap dicatat, Barabas ini adalah penjahat dan pembunuh. Mengapa orang-orang ini lebih memilih Barabas daripada Yesus? Karena mereka membenci Yesus. Kebencian itu telah mendarah daging, telah masuk sampai ke tulang sumsum. Maka meskipun Pilatus memberi pilihan yang baik, mereka tetap memilih yang buruk. Meskipun Yesus kerap melakukan tindakan yang baik, mereka malah memilih pembunuh dan penajhat. Itu semua karena kebencian yang sudah merasuk dalam sampai ke tulang sumsum.
Pada bagian akhir juga kita lihat sisi manusiwai Pilatus. Sisi ketakutan akan kehilangan kuasa dan tekanan masa. Maka dia memilih cuci tangan dan tidak berani mengambil risiko yang lebih besar. Akhirnya dia memutuskan Yesus dijatuhi hukuman mati.

Ya Tuhan, kami seringkali juga bersikap seperti orang banyak itu. Didera kebencian yang sangat besar sehingga tidak mampu melihat sesuatu dengan lurus dan jujur. Akibatnya juga tidak mampu melihat kebenaran dengan jernih sehingga kerap memilih yang buruk dan salah dibandingkan memilih yang baik dan kotor.
Kami juga kerap bersikap seperti Pilatus, meski melihat hal yang benar tetapi takut mengambil risiko. Kami kerap takut menghadapi risiko, takut kehilangan muka di hadapan banyak orang, kami takut kehilangan nama baik dibandingkan memilih yang benar.
Tuhan ampunilah kami atas segala kedegilan hati kami, atas segala kekecilan hati kami dan ketakutan kami.


(bersambung)

Comments

Popular Posts