Sabar... Sabar... Sabar...

Ada satu komentar dari seorang teman, "Romo ini suka menasehati orang supaya sabar, tetapi Romo sendiri nggak sabaran." Aduh, seperti tamparan. Kemudian saya mencoba melihat kembali, apakah saya memang tidak sabaran? Tetapi kemudian saya juga bermenung, apakah saya juga harus selalu sabar? Dalam hal apa? 

Setelah bermenung cukup lama, saya akhirnya menyimpulkan tidak akan membicarakan soal sabar atau tidak, karena ada nilai yang jauh lebih mendasar dari sekadar sabar atau tidak. Mungkin akan kelihatan baik kalau seorang imam itu kelihatan sabar, selalu tersenyum, murah hati, selalu berbicara manis, dst. Tetapi apakah memang harus demikian? Mungkin tidak. Mengapa mungkin tidak?

Saya mencoba merenungkan nasihat Yesus, "Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Surga."

Orang Farisi adalah orang yang berpenampilan baik. Menjalankan aturan agama. Beribadah dengan tekun. Tetapi Yesus mengatakan bahw itu semua tidak cukup. Harus lebih baik. Lantas apa hubungan hal ini dengan kata sabar, murah senyum, dan kelihatan baik seperti yang saya sampaikan di awal catatan?

Yang kelihatan saja tidak cukup. Perlu diinternalisasikan. Aduh kata apa ini. Maksudnya, apa yang kelihatan itu harus mengalir dari dalam. Kalau mulutnya menyunggingkan senyum, haruslah senyum itu meluap dari hati. Kalau bibir mengucapkan kata maaf, haruslah maaf itu keluar dari hati. Kalau semuanya hanya di bibir saja, di wajah saja, maka semuanya hanya komestik, tidak ada gunanya.

Hidup batin, itu jauh lebih berat daripada apa yang kelihatan. Itulah yang sangat ditekankan oleh Yesus. Kelihatan sabar, kelihatan murah senyum, kelihatan baik hati, kelihatan suka menolong, kelihatan suci, kelihatan saleh, dan kelihatan-kelihatan yang lain. Yesus tidak memerlukan itu semua. Karena bagi Yesus, yang mengalir dari hatilah yang lebih bermakna, bukan apa yang kelihatan.

Mendapati ini semua saya disadarkan, tidak perlu kelihatan sabar kalau hati tidak sabar. Tidak perlu menyunggingkan senyum, kalau hati tidak tersenyum. Tidak perlu berbuat baik kalau hati tidak rela. Dan tidak perlu yang lain, kalau tidak mengalir dari hati.

Lantas? Harus bagaimana? Apakah harus cemberut? Apakah harus marah-marah? Bagaimana kalau sedang sedih, bagaimana kalau sedang sakit hati, bagaimana kalau sedang menderita, dan bagaimana-bagaimana yang lain.

Di sini saya juga mendapati satu hal. Ada ENERGI yang begitu besar yang menggerakkan itu semua. ENERGI itu adalah CINTA. 

Lihatlah orang yang jatuh cinta, dia akan baik luar biasa. Wajahnya cerah, senyumnya merekah, karena hatinya berbunga-bunga. Nahhhhhh...... Energi cinta ini yang harus ada. Energi cinta yang tak kunjung padam, yakni cinta akan Allah. Kekasih sejati yang senantiasa bersemayam di dalam hati. DIA yang akan senantiasa menghangatkan hati, membuat wajah terus berurap senyum. DIA yang akan selalu menjadi dasar dan sumber setiap tindakan baik yang kita lakukan.

Maka menemukan KEKASIH SEJATI dan senantiasa menyimpannya dalam hati, itu menjadi ENERGI yang tidak akan pernah padam. Kalau ini kita miliki, Yesus tidak akan marah lagi. Karena semua yang kita lakukan bersumber dari ALLAH sendiri.

Hong Kong, 13 Maret 2014, 23:55pm



Comments

Unknown said…
Sungguh luar biasa ......teryata q bsa sadar kalau TUHAN mencintai dan memberikan ku kasih sayang nya melalui orang orang yg dekat dgn saya
Membimbing ku melalui gembala gembakanya


Terimakasih BAPA engkau pertemukan aku dgn romo waris yg selalu memberi santapan rohaniku

Popular Posts