Pernikahan Sempurna

Sahabat, mungkin Anda sudah menonton film 'Soegija', film yang bertutur prihal Uskup Soegijapranata. Uskup pribumi pertama di indonesia. Uskup yang harus ikut memikirkan rakyat, bukan hanya yang katolik, tetapi seluruh rakyat, karena situasi perang saat itu. Bukan kisah film tersebut yang hendak saya bahas. Tetapi ada potongan dialog antara Uskup Soegija dengan pembantunya.
Mungkin bukan sebuah dialog yang ramai, lebih tepat juga disebut monolog. Karena Uskup Soegija hanya mendengarkan pembantunya yang terus berbicara. Kurang lebih dia mengatakan ini. Menikah itu membuat hidup menjadi utuh. Jadi menjadi imam, apalagi uskup, berarti hidup belum komplit, alias setengah penuh, alias setugel.
Uskup Soegija tidak menanggapi ungkapan Min, pembantunya. Tetapi pernyataan Min itu benar. Pernikahan adalah sebuah kepenuhan. Mereka yang menikah telah mengalami kepenuhan. Bagaimana yang tidak menikah? Mereka juga menikah dengan Allah dalam pernikahan rohani. Membahas pernikahan rohani akan membutuhkan waktu yang amat lama. Jadi saya hanya akan membahas pernikahan jasmani.
Saya ingin mengulang bahwa pernikahan adalah sebuah kepenuhan. Masing-masing peribadi memberikan dirinya seutuhnya, sehingga keduanya menjadi lebih utuh. Keduanya menjadi satu, sempurna. Jika keduanya sempurna dan menjadi utuh, mengapa ada perpecahan? Mengapa ada perceraian?
Perpecahan dan perceraian terjadi karena salah satu atau keduanya tidak memberikan diri sepenuhnya. Atau dalam perjalanan waktu, pemberian diri sepenuhnya itu dikurangi, ditarik kembali. Maka perpecahanpun terjadi. Ada banyak alasan, misalnya: sudah tidak cocok lagi, menemukan orang lain yang lebih menyenangkan, dst.
Mengapa orang tidak memberikan diri sepenuhnya dalam pernikahan? Mengapa orang menarik kembali apa yang sudah pernah diberikan secara penuh? Biasanya karena ego. Ego itu didukung oleh hasrat yang begitu besar yang bersumber dari tenaga di bawah pusar. Ketika hasrat besar yang bersumber dari bawah pusar datang, pikiran jernih dan hati yang bening tidak lagi bisa mengambil keputusan yang baik. Keputusan hanya diambil berdasar hasrat yang membara yang berasal dari bawah pusar.
Persoalan muncul ketika pasangan suami istri tinggal berjauhan. Di sini saya berjumpa dengan begitu banyak istri yang tinggal jauh dari suaminya. Kebanyakan dari mereka hidup pernikahannya benar-benar pecah. Rata-rata suaminyanmenikah lagi. Pernah suatu ketika saya bertanya kepada ibu penjual makanan di Makau. Mengapa dia tidak betahndi rumah, dia berkata "untuk apa di rumah, wong suami sudah dirawat orang lain. Lebih baik saya di sini dan mencari uang untuk anak-anak saya." Kisah serupa dan alasan yang hampir sama kerap saya temui.
Tidak bisa hanya menjatuhkan kesalahan pada salah satu pihak. Karena hidup berumahtangga adalah pemberian yang utuh antara dua belah pihak. Saya juga tidak tahu haris bicara apa soal perceraian yang banyak terjadi ini. Tetapi ini beberapa pilihan yang pernah saya jumpai ditempuh oleh beberapa pasang yang memutuskan berpisah.

Ada istri yang memilih diam ketika suaminya menikah lagi. Dia sadar bahwa pernikahannya dulu adalah sakramen.  Ketika suaminya memilih menikah kembali, dia tidak menggugat, dia juga tidak mengiyakan. Dia masih menerima 'lelaki' itu sebagai suami dan bapak atas anak-anaknya. Dia hanya berprinsip satu, dia tidak mau lagi melayani suaminya tersebut. Karena hubungan intim itu dia percaya sebagai tanda pemberian diri yang seutuhnya. Maka ketika suaminya mengajak berhubungan dia menolak, karena dia tahu itu hanya berasal dari nafsu bawah pusar dan bukan dari pemberian diri yang utuh.

Ada istri yang memilih untuk bercerai secara sipil. Hal itu dia tempuh demi anaknya. Agar hak-hak anak dipenuhi dengan adanya status yang jelas dari orangtuanya. Dia sendiri memilih untuk terus menjanda. Dia sadar bahwa pernikahannya dulu adalah sakramen, dan tidak akan terpisahkan kecuali oleh kematian. Maka ketika suaminya lari, dia tetap bertahan. Dia tidak mencari lelaki lain untuk menjadi bapak tiri bagi anaknya. Karena dia tidak mau kehilangan hak dan kesempatan sebagaimorang katolik.

Ada istri yang memilih tidak peduli. Karena suaminya menikah lagi, diapun menikah lagi. Dia tidak mau dikalahkan, dia tidak peduli bahwa dia kehilangan hak sebagai orang katolik. Dia hanya mau menikah, karena dia tidak sanggup menahan tekanan sosial karena hidup sendiri sebagai janda. Di banyak tempat status janda itu kerap dianggap miring. 

Masih ada kasus lain. Dan rasanya kalau semua kasus yang pernah saya jumpai saya tuliskan di sini. Akan terlalu banyak dan membingungkan. Tetapi satu hal yang saya pelajari dari kasus-kasus itu, dari perjumpaan-perjumpaan itu.

Pertama, jangan pernah meninggalkan Tuhan. Ketika salah satu anggota mulai meninggalkan Tuhan, yang satu harus makin kuat bersandar pada Tuhan. Jangan mulai bersandar ketika sudah ditinggalkan. Ketika mulai melihat gelagat bahwa pasangan mulai tergaet godaan si jahat, pasangannya harus semakin merekatkan diri pada Tuhan. Pada saat yang sama, jangan mengurangi kasih.

Kedua, pernikahan itu bukan sekali jadi. Hidup pernikahan adalah sebuah proses panjang. Pacaran adalah saat pengenalan, dan pernikahan adalah sebuah proses menjadi. Tidak ada manusia yang benar-benar sempurna untuk orang lain. Tidak ada pria sempurna, tidak ada wanita sempurna. Tiap manusia memiliki kekurangan dan kelebihan. Bagaimana terus belajar menerima kekurangan dan kelebihan, bagaimana terus belajar mengurangi kekurangan dan memupik apa yang baik untuk pernikahan. Itu yang mungkin bisa dilakukan.

Ketiga, memaafkan. Perpecahan tidak akan terjadi kalau ada maaf. Sampai berapa kali harus memaafkan? Tergantung kita mau ikut siapa. Kalau kita mau ikut Yesus, kita harus memaafkan terus dan terus. Tidak ada putusnya. Jika maaf ada dalam keluarga kita, niscaya perpecahan tidak akan terjadi.

Hong Kong, 28 Februari 2014, 10:07

Comments

Popular Posts