Bebek penyet....

Minggu kemarin saya menikmati bebek penyet. Dua hari sebelumnya saya sudah ditanya, "Romo mau makan apa, kami akan pesankan di warung ..., pilihannya ada ini, ini, ini, dan ini." Kemudian saya memesan bebek penyet dan dawet. Pada hari H, bebek penyet saya dapatkan, tapi dawet tidak ada, karena persediaan memang tidak ada.

Rupanya, rombongan makan sore itu, saya lupa berapa jumlahnya, saya amati semua makan dengan cara yang sama. Yaitu dengan tangan. Yaelahhh... pasti dong semua makan dengan tangan, bukan dengan yang lain. Hahahahaha, yang saya maksudkan, tidak ada yang menggunakan sendok atau pisau atau sumpit. Semua langsung menggunakan jari jemari untuk menikmati makan sore seusai misa.
Ada yang unik, dan ini baru saya jumpai di Hong Kong. Memang semua makan menggunakan tangan langsung, tetapi mereka memakai sarung tangan plastik. Alasannya sederhana, agar tangan tidak kotor. Saya memilih tidak memakai sarung tangan. Alasan saya sederhana, kurang nikmat dan ribet. Maka saya mencari kran air dan membasuh tangan baru menyantap menu makan sore.
Soal makan memakan memang unik. Tiap daerah memiliki gaya tersendiri. Tiap menu dan jenis makanan memiliki cara tersendiri untuk menyantapnya. Jika kita salah menggunakan cara, atau katakanlah tidak mengikuti cara yang lazim, maka kita dianggap "kurang beradab" alias kurang berbudaya. 
Pernah suatu ketika saya menikmati sajian ikan laut. Waktu itu kami makan di sebuah restoran mahal.  Teman-teman saya memesan steak, sedangkan saya memesan ikan. Ada dua jenis penyajian ikan. Yang pertama adalah ikan itu dipotong, dan sudah dihilangkan durinya. Ikannya pasti besar, maka ketika dipotong, sudah cukup untuk makan satu porsi. Cara makannya menggunakan pisau dengan garpu. Tetapi saya tidak memesan yang demikian. Saya memesan yang whole ikan, alias ikan utuh. Maka disajikan di hadapan saya ikan utuh. 
Terbersit di kepala saya untuk cuci tangan dan mulai makan langsung dengan tangan, seperti biasanya saya lakukan di rumah. Tetapi saya segera sadar bahwa saya berada di restoran mahal. Ada pelayan mengawasi. Ada teman-teman yang memiliki etiket yang bagus dalam hal kuliner. Maka saya memakai alat yang ada, pisau dengan garpu. Saya tekuni pelan-pelan tanpa suara dan komentar. Pada akhir sesi makan, yang tertinggal adalah tulang ikan. Persis seperti di dalam film kartun kucing makan ikan, yang tersisa adalah duri yang rapi.
Teman saya berkomentar,"bagaimana kamu melakukan itu?" Saya jawab, "saya seorang seniman makan." Tidak nyambung, tetapi tidak menjadi soal. Yang pasti saya tidak melukai tata cara makan yang mereka tetapkan. Meskipun saya kurang menikmatinya, toh saya harus mengikutinya. Demi sebuah sopan santun dan etika berkuliner.
Di manapun tempatnya, etika atau adat atau nilai-nilai luhur yang diturunkan dari leluhur selalu ada di mana-mana. Di manapun tempatnya, selalu ada sekelompok orang merasa perlu untuk menjaga tata adat itu agar terus dijalankan. Mereka juga merasa perlu menegur orang-orang yang tidak menjalankan aturan tersebut.
Tidak jarang ada gesekan antara orang-orang yang berusaha menjalankan aturan dengan orang-orang ingin melakukan pembaharuan, atau sekadar tidak menjalankan, atau dengan mereka yang memertanyakan aturan tersebut. Menjadi lucu ketika sebuah aturan dipertanyakan yang muncul adalah jawaban, "dari dulu juga begitu." Atau, "kalau tidak menjalankan aturan itu, berarti tidak menghormati leluhur."

Harus dipahami bahwa dalam hidup ini ada dua macam aturan. Pertama adalah aturan yang dibuat oleh manusia, agar tata hidup bersama berjalan dengan baik. Yang kedua adalah aturan yang dibuat oleh Tuhan. Tujuannya selain menata kehidupan bersama juga menjamin kehidupan bersama itu berjalan dengan baik dan relasi dengan seluruh ciptaan dan pencipta juga baik.
Dalam praktinya ada banyak pelanggaran demi sebuah aturan. Apa maksudnya? Maksudnya, ada banyak orang melanggar aturan yang tertinggi demi menjaga aturan yang lebih rendah. Kalau bernegara di Indonesia, ada orang yang mati-matian mempertahankan surat keputisan bersama tiga mentri, meskipun itu tidak sesuai dengan UUD 45. Itu konyol sekali. UUD 45 jauh lebih tinggi dari keputusan bersama tiga mentri. Tetapi ada orang yang ngotot mempertahankan, bahkan dengan cara menekan dan menindas orang lain. UUD 45 menjamin kebebasan beragama setiap orang. Sedang keputusan bersama tiga mentri, membelenggu kebebasan beragama tersebut. 
Sikap demikian sudah lama dikritik oleh Yesus. Ceritanya Yesus dan para murid sedang makan bersama. Saya yakin menu yang dihidangkan kemungkinan besar adalah ikan bakar. Sehingga para murid langsung menyantap dengan lahap. Bisa jadi ada yang membawa sambal, atau ada lalapan pete atau yang lain, sehingga semuanya makan dengan lahap. Ternyata aksi mereka diamati oleh orang-orang Farisi. Mereka melihat bahwa para murid ini melanggar adat istiadat. Mereka makan tanpa membasuh tangan dan kaki terlebih dahulu.
Tentu saja Yesus sedikit 'keki' dengan orang-orang Farisi ini. Dia menyentil mereka dengan kengatakan bahwa mereka itu sangat menghormati hukum manusia tetapi di lain pihak, mereka melanggar hukum Tuhan. Mereka rela melanggar hukum yang lebih tinggi, yaitu hukum Tuhan demi menjaga hukum manusia dijalankan.

Sentilan Yesus itu rupanya mengena pada saya juga. Tidak jarang saya menegur sesama karena tidak melakukan ini atau itu. Padahal saya melupakan apa yang lebih tinggi. Apakah yang lebih tinggi itu? Yaitu hal untuk mencintai Allah di atas segalanya. Saya begitu mencintai diri saya sendiri, mencintai hukum-hukum yang dibuat oleh manusia, sehingga kerap melalaikan hukum tertinggi.
Mencintai Tuhan tentu ada banyak caranya. Dan saya tidak bisa mengatakan hanya ada satu jalan. Karena cinta itu sendiri begitu kompleks. Bahkan mencintai manusia saja sudah kompleks, sudah ada begitu banyak jalan dan caranya, apalagi mencintai Allah. Yang terpenting adalah, bagaimana saya menemukan cara terbaik dalam hal mencintai Allah. Tentu cara terbaik yanh saya pilih adalah yang sesuai dengan hati saya, yang pas dengan kepeibadian saya. Dan bisa jadi agak berbeda dengan cara orang lain mencintai Allah. Seperti kalau saya menikmati bebek penyet langsung dengan tangan, tanpa sarung tangan plastik. Itu pas dengan saya.

Hong Kong, 11 Februari 2014, peribgatan Maria Lourdes, 05:47am


Comments

Unknown said…
Hohohooo kok yo nyambung aj to mo ?! Hihiii mantap moris mah ... :-) mbahnuwun , romo .. Met pagi
MoRis HK said…
Selamat malammm....
Suwun nggih sampun pinarak...

Popular Posts