Masuk ke dalam Puri Batin, sebuah catatan retret (6), ruang ke lima, Persatuan dengan Allah


Berbagi
Perjalanan memasuki puri batin sudah semakin jauh. Ada banyak hal yang tidak sanggup dimengerti oleh akal. Bahkan Santa Teresa Avilla juga kerap menyebutkan, bahwa mereka yang mengalamai akan mengerti penjelasannya dengan mudah. Rupanya beliau juga sangat menyadari keterbatasan banyak insan lemah. Apalagi latar belakang kehidupan yang berbeda. Beliau hidup pada abad ke-16 di Spanyol. Di mana kehidupan masyarakatnya lebih religious dibandingkan sekarang yang lebih sekular. Meski demikian saya berusaha terus membaca halaman demi halaman paparan Santa Teresa Avilla mengenai puri batin.   Dalam ruang keempat Santa Teresa Avilla menjelaskan dengan cukup panjang berbagai anugerah Allah, diantaranya doa istirahat dan keheningan. Di sini Teresa menjelaskan lebih lanjut bahwa anugerah-anugerah yang telah dianugerahkan Tuhan itu akan bisa dinikmati dengan baik kalau kita mau berbagi. Anugerah itu harus dibagikan, tidak boleh hanya disimpan sendiri. Apakah yang harus dibagikan itu? Anugerah Allah tersebutlah yang harus dibagikan. Pengalaman akan Allah, pengalaman doa, harus dibagikan. Bukan hanya menolong orang lain untuk bertumbuh, namun membantu diri sendiri memahami pertumbuhannya. Memang tidak semua orang bisa membagikan pengalaman rohani ini dengan baik. Karakter seseorang sangat mempengaruhinya, juga situasi politik juga berpengaruh. Misalnya St. Edith Stein, dia hampir tidak penah membagikan pengalaman spiritualnya sendiri.  Beliau menguraikan dengan sangat baik pemikiran Santa Teresa Avilla dan St. Yohanes Salib, namun pengalamannya sendiri dia simpan sangat rapi. Untunglah Santa Teresa Avilla mau membagikan pengalamannya dengan senang hati, sehingga sekarang kita bisa belajar darinya.
Di ruang kelima ini Tuhan meminta sepenuhnya pemberian diri dari kita. seturut pemberian diri kita yang penuh itulah nanti Dia akan menganugerahkan lebih banyak lagi anugerah. Di sini jiwa sudah mati terhadap barang-barang duniawi. Hidup hanya melulu bagi Tuhan. Apa yang dulu begitu menyenangkan dan mengairahkan, sekarang terasa tidak ada artinya lagi. Bahkan barang-barang yang bersifat rohani juga tidak menarik lagi. Padahal dulu begitu menarik dan memikat. Tak jarang orang merasa aneh dan ganjil melihat dirinya sendiri. Seolah ia melihat dirinya berbeda dengan apa yang ia kenal. Kok seperti ini, kok begitu, dan seterusnya. Seolah-olah ada magnet yang begitu kuat menarik seseorang untuk bersatu dengan Allah. Dan karena persatuan ini begitu kuat maka dia seperti mati rasa. Maka berbagi menjadi begitu mudah karena seseorang tidak melekat lagi terhadap barang atau sesuatu.
Dalam ruangan ini jiwa terangkat kepada Tuhan dan tidak lagi mengalami ganguan dari fantasi, ingatan dan akal budi. Tuhan sudah meletakkan gambaran Diri-Nya sendiri di dalam jiwa manusia. Namun hal ini terjadi bukan karena usaha jiwa sendiri. Sungguh hanya Tuhan yang bekerja. Jiwa bekerja, sejauh dikatakan bekerja adalah membiarkan Tuhan melakukan itu di sana. Membiarkan Tuhan memasuki dirinya. Tuhan masuk melalui pintu-pintu yang terkunci. Seperti dahulu Yesus masuk menemui para murid meskipun pintu-pintu tertutup rapat dan terkunci. Apakah pintu terkunci itu? Daya-daya jiwa itulah pintu dan jendela. Meskipun kita menguncinya dengan rapat, Tuhan masih bisa menerobosnya. Daya-daya batin itu adalah ingatan, fantasi dan akal budi. Di ruangan ini semuanya sudah tidak berfungsi lagi. Mereka tidak mampu mencerna apa yang ada dan terjadi. Namun Tuhan bisa memasukinya. Kita seperti telah mati bagi dunia untuk hidup lebih baik lagi di dalam Tuhan. Biasanya, mata atau indra pada umumnya adalah jalan awal untuk bisa melihat dan mengalami Tuhan. Tetapi dalam ruangan ini semuanya sudah tidak berfungsi lagi. Semuanya tertutup. Tetapi Tuhan mampu memasukinya.

Doa persatuan : Ulat – Kepompong – Kupu-kupu
                  Santa Teresa Avilla sungguh luar biasa. Perempaun ini tidak belajar teologi di universitas, beliau hanyalah suster biasa. Kehebatannya terletak dalam kemampuannya memaparkan pemahaman teologis yang sangat berat dengan cerita dari kehidupan sehari-hari yang sangat sederhana. Persatuan dengan Allah adalah teologi yang amat susah dijabarkan. Sesuatu yang tidak bisa dimengerti oleh indera. Ajaran yang begitu tinggi ini hendak disampaikan kepada para suster yang tidak kalah sederhananya dengan Santa Teresa Avilla sendiri.
                  Perjalanan persatuan manusia dengan Allah oleh Santa Teresa Avilla digambarkan seperti perjalanan seokor ulat sutera sampai nanti menjadi kupu-kupu yang indah. Ulat sutera itu awalnya adalah sebuah telor yang kecil. Tidak lebih besar dari biji lada atau merica. Ulat kecil ini perlahan-lahan menajdi besar karena hangatnya udara musim semi. Mentari mulai muncul dan tunas-tunas murbei mulai bermunculan. Di sana ulat kecil mendapatkan makanannya. Kemudian dia mulai makan-makan-makan dan makan. Rakus sekali. Seolah tidak pernah merasakan kenyang, hingga seluruh daun habis ia telan. Setelah benar-benar kenyang, setelah dia menjadi gemuk sekali, ia menghentikan aktivitasnya. Dia mulai diam. Bukan sekadar diam, melainkan diam sambil menenun. Ia kumpulkan ranting-ranting kering, ia ikat dengan sulur-sulur halus yang lama-kelamaan membungkus dirinya. Tidak ada yang pernah tahu apa yang terjadi di sana. Apa yang dilakukan, sampai kapan ia bersembunyi di dalam kempompong itu. Hanya nanti, tiba-tiba akan muncul kupu-kupu yang indah sekali. Dia keluar pada waktu yang tidak disangka-sangka. Ia terbang ke sana kemari seolah tidak pernah merasa tenang. Ia ingin hinggap di mana saja, terbang ke mana saja.
                  Apakah artinya ulat ini? Ini adalah gambaran jiwa manusia di awal pertumbuhan hidup doa. Ulat kecil itu tumbuh oleh kehangatan udara musim semi, kehangatan mentari. Itulah kehangatan kasih Allah yang menumbuhkan jiwa. Mendengarkan Sabda Tuhan seperti disiram mentari pagi yang menyehatkan, semua menyenangkan, semua terasa hangat dan melegakan. Hingga nanti ulat kecil ini mendapatkan makanannya dari hijaunya daun murbei. Di sanalah jiwa juga mendapatkan makanannya. Sakramen-sakramen, bacaan Kitab Suci, buku-buku rohani, semuanya adalah makanan bagi jiwa. Ulat kecil tadi memakan habis seluruh daun, jiwa ini juga melahap seluruh makanan rohani tadi seolah tiada kenyangnya. Saya mengenal beberapa orang yang rasanya tidak pernah kenyang makanan rohani, dia rajin mengaku dosa, membaca buku-buku rohani, menyempatkan waktu untuk berdoa dan adorasi; semua dia jalani. Seperti ulat kecil yang terus memakan habis daun-daun murbei.
                  Kemudian ada moment di mana ulat itu diam. Dia menghentikan seluruh aktivitasnya, seolah ia bertapa. Demikianpun jiwa. Tiba-tiba saja dia menghentikan seluruh aktivitas menyantap santapan rohani tadi. Ketika jiwa telah dewasa oleh Roh. Moment yang tidak dia kenali, bahkan seakan jiwa tidak mengenal lagi dirinya. Ada proses dia keluar dari dirinya sendiri hingga nanti pada saatnya, pada waktu yang tidak diduga-duga jiwa ini berubah. Ada moment seolah dia sedang membangun rumah bagi Kristus. Seolah dia hendak mati bagi dunia dan bangkit bersama Kristus. Setelah doa persatuan jiwa bertransformasi menjadi manusia baru. Seperti ulat pada hari yang tidak pernah terduga-duga keluar dari kepompong menjadi kupu-kupu. Sama sekali berbeda. Tidak ada jejak ulat yang mengerikan, yang ada adalah kupu-kupu dengan sayap manisnya. Demikianlah jiwa yang telah bertransformasi, dia lahir sebagai manusia baru. Juga sama halnya dengan kupu-kupu yang tidak bisa diam, jiwa yang telah lahir baru ini juga tidak bisa diam. Dia terbang ke sana ke mari membagikan pengalaman rohani yang hebat ini. Anugerah Allah itu harus dibagikan. Demikianlah mereka yang sungguh mengalami pengalaman Allah seperti tidak dapat menahan diri untuk tidak berbagi. Pengalaman iman ini haru dibagi. Apa yang dulu disantapnya telah diolah oleh Allah sendiri sehingga menjadi sesuatu yang baru, ini harus dibagikan.
Jiwa yang telah lahir baru terbang ke sana kemari. Ia tidak pernah tenang, hatinya cemas melihat orang berdosa dan tidak mau mengenal Tuhan. Persatuan dengan Allah ini menghantar jiwa menjadi rasul bagi jiwa-jiwa yang lain. Ada sedikit kontradiksi yang kita tangkap. Mereka yang telah mengalami persatuan dengan Allah, biasanya hidup dalam keheningan dalam alam kontemplasi. Namun jiwa ini tidak bisa diam, seolah sangat aktif bagi jiwa-jiwa. Kita melihat ada yang kontradiksi. Sesungguhnya tidak ada pertentangan. Yang ada hanyalah jiwa kontemplatif yang merasul, jiwa yang senantiasa cemas melihat jiwa-jiwa lain yang belum mengenal Tuhan.
Proses yang penting dalam persatuan ini adalah mematikan diri. Jiwa menyerahkan seluruh kehendaknya yang teguh kepada kehendak Tuhan sendiri dan mempersatukan diri dengan-Nya. Apakah ada kenikmatan rohani dari persatuan ini? Tidak menjadi soal. Yang utama adalah persatuan dengan Allah itu sendiri. Sementara anugerah kenikmatan rohani adalah hal sampingan belaka. Seperti sepasang kekasih, hal yang utama adalah persatuan dua pribadi yang saling mencintai. Hal-hal lain menjadi sampingan. Penghiburan dan rasa nikmat sungguh tidak ada artinya jika dibandingkan dengan pemberian diri Tuhan yang utuh. Apakah itu masih kurang bagi kita sehingga kita menuntut penghiburan yang lain?
Di sini juga kelihatan buah-buah doa. Bukan pada jam-jam doa yang sudah disusun dengan sangat teratur dan teliti. Tetapi dalam aktivitas harian. Mungkin dalam jam-jam doa jiwa bisa begitu khusyuk terangguk-angguk, mungkin karena kelelhan kurang tidur. Tetapi buah doa terasa dalam perjumpaan dengan sesame. Dalam pembicaraan, dalam pekerjaan tangan, dalam pelayanan. Doa yang dibuat dan persatuan Allah yang diaalami harus memengaruhi relasi dan pekerjaannya. Juga identitas kita sebagai pengikut Kristus harus dirasakan dilihat orang lain dalam kehidupan sehari-hari. Kegiatan doa sungguh penting, namun itu harus dibawa ke dalam kehidupan sehari-hari yang konkrit. Karena kerap kita jumpai bahwa seseorang begitu rajin dan khusyuk berdoa tetapi dalam kehidupan sehari-hari kerap menyusahkan. Seperti bertolak belakang, apa yang dia timba dalam doa seolah tidak membekas sama sekali dalam hidup harian.

Cinta sesama
Siapakah yang berhasil masuk ke dalam ruangan ini? Ternyata tidak banyak. Memang jiwa-jiwa sudah berusaha untuk hidup dengan lebih baik. Bahkan dosa-dosa kecil sudah berusaha dihindari, bahkan bagi mereka yang masuk biara, tidak banyak yang mampu masuk ke ruangan ini. Padahal banyak dari mereka yang tinggal di biara sudah merasa melakukan sesuatu dengan cukup. Mereka mengira sudah melakukan yang bahkan lebih dari cukup kalau bisa mengikuti acara biara dengan teratur. Santa Teresa Avilla mengingatkan bahwa di ruangan ini masih ada ulat-ulat kecil yang menggangu. Memang sudah tidak ada lagi binatang-binatang berbisa yang mampu membunuh jiwa dalam sekejap. Namun masih ada ulat-ulat kecil yang mampu menggerogoti keutuhan jiwa. Ulat-ulat kecil semacam cinta diri, mengadili sesama, kesombongan, gila hormat, singkatnya aneka kekurangan dalam cinta kasih persaudaraan masih ada. Kekurangan-kekurangan kecil yang jika dibiarkan akan mampu mematikan kebajikan-kebajikan.
Cinta persaudaraan dengan sesama mendapatkan perhatian yang cukup kuat dalam ruang kelima ini. Perintah Yesus agar kita menjalani hidup sempurna kemudian diarahkan dalam penggenapan hukum cinta kasih. Mencintai Dia lebih dari segala sesuatu dan mencintai sesame seperti mencintai diri sendiri. Perwujudan cinta sungguh kelihatan pertama-tama dalam cinta kepada sesame. Cinta kepada Tuhan itu sungguh nyata dalam cinta kepada sesama. Seperti sebuah salib yang terdiri dari dua arah, ke atas dan ke samping. Ke atas adalah bentuk cinta kepada Tuhan dan ke samping bentuk cinta kepada sesama. Jika hanya menekankan kepada satu arah, salib tidak akan pernah terwujud. Cinta kepada Allah diwujudkan dalam cinta kepada sesama. Sedangkan cinta kepada sesama harus terarah kepada cinta kepada Tuhan. Karena ada bahaya bahwa cinta ini hanya dilihat satu sisi saja. Misalnya, seseorang berprinsip tidak mau menyakiti orang lain tetapi juga sebaliknya tidak mengindahkan Tuhan. Atau sebaliknya seseorang sangat religious, ketat menjalankan ajaran agama, tetapi sikap kepada sesama sangat keras bahkan tidak jarang melukai. Penekanan sepihak yang sangat berbahaya.
Sangat menekankan pentingnya mencintai Allah tanpa disertai mencintai sesama hanya akan memunculkan fanatisme-fanatisme semu. Merasa diri lebih baik dari yang lain. Merasa berhak mengadili orang lain dan menghukumnya. Hal seperti ini sangat marak di Indonesia. Terlalu menekankan cinta kepada sesama tanpa diimbangi dengan cinta kepada Allah hanya akan memunculkan humanis-humanis. Atau bahkan akan lahir atheis-atheis baru.  Di banyak negara yang semakin sekular hal ini sangat terasa. Semakin banyak orang yang tidak mau mengakui adanya Tuhan dan hanya mementingkan perbuatan baik kepada sesama.
Seturut ajaran Bunda Teresa Avilla mengenai pengenalan diri, akan sangat membantu kita memahami bahwa mencintai Tuhan itu tidak akan bisa dilepaskan dari cinta kepada saudara kita. Di sana dijelaskan bahwa identitas kita itu terletak di dalam Allah. Artinya, dengan melihat keagungan Allah kita menemukan kerapuhan diri kita. Nah, orang lain juga mengalami hal yang sama. Mereka juga sama hinanya dengan kita di hadapan Allah. Tetapi mereka juga dicintai Allah. Di sanalah alasan mengapa kita mesti mencintai sesama seperti diri sendiri. Karena Allah juga mencintai sesama kita seperti mencintai diri kita.
Untuk itu dituntut kurban dan penyangkalan diri. Jika kita jujur terhadap diri sendiri, tidak mudah mencintai orang lain itu. Lebih mudah mengadili dan menghukumnya. Sungguh diperlukan penyangkalan diri untuk bisa melakukannya. Di sanalah akan muncul kebajikan-kebajikan kita yang keluar dari persatuan dengan kehendak Bapa.
Sejauhmanakah relasi jiwa dengan Allah dalam ruangan ini? Kita bisa membandingkannya dengan dua orang tunangan yang mencoba saling mengenal lebih dalam lagi. Mereka sudah lama menjalin kasih dan sudah semakin serius sehingga merencanakan untuk membentuk satu hidup bersama. Sebelum memasuki jenjang hidup bersama, mereka ingin sungguh mengenal agar siap. Di sini jiwa sungguh beruntung boleh mengalami kasih ini. Bahkan pengalaman kasih ini membuatnya ingin melakukan yang terbaik yang dikehendaki oleh Sang Kekasih, dalam segala hal.
Apakah jika demikian sudah tidak ada lagi gangguan bagi jiwa? Tidak. Gangguan masih ada. Setan masih berusa merusak hubungan jiwa dengan Allah. Setan berusaha keras agar jiwa terjatuh. Karena rahmat persatuan yang dialami oleh jiwa ini mendatangkan banyak keuntungan bagi Kerajaan Allah. Di lain pihak mendatangkan kerugian bagi kerajaan setan. Maka dia berusaha menjatuhkan jiwa-jiwa. Bunda Teresa Avilla mengingatkan para suster bahwa tidak ada tembok biara yang cukup tebal untuk menghalangi setan masuk. Jubah sungguh tidak menyelamatkan  dari godaan si setan. Apalagi pada zaman sekarang, biara yang tertutup sekalipun bukan halangan bagi setan untuk masuk. Godaan bukan lagi berada di luar tembok biara, tetapi berada di saku-saku para biarawan-biarawati juga para imam. Telefon genggam yang semakin canggih adalah godaan yang utama. Dengan berbagai fitur yang memanjakan penggunanya adalah sarana yang mudah bagi si setan untuk menggoda. Belum lagi komputer dan berbagai alat bantu dalam karya yang kerap membahayakan. Maka sikap dewasa dan bijaksana serta sikap berjaga mutlak diperlukan. Agar sarana yang memudahkan dalam hidup sehari-hari jangan sampai membawa kita terjerumus ke dalam jurang.
Kerendahan hati mutlak diperlukan agar jiwa tidak jatuh digoda setan. Jiwa diminta berdoa terus menerus kepada Tuhan, agar Dia senantiasa memegang kita di jalan-Nya yang kudus. Sikap sombong, merasa diri sendiri mampu dan hebat sangatlah berbahaya. Karena sesaat saja Tuhan melepaskan pegangan-Nya, kita akan jatuh terpuruk. Kita harus kerapkali mengadakan pemeriksaan batin, apakah kita sudah cukup maju atau malahan kita terperosok jatuh dan mundur. Bagaimana kita tahu bahwa kita sudah cukup maju? Seperti yang sudah dipaparkan di atas, cinta kepada sesama dan kerendahan hati adalah patokannya. Jika cinta kepada sesama bertumbuh dengan baik, boleh dikatakan kita cukup maju. Jika jiwa tiada hentinya berpegang kepada Allah, di sana akan kelihatan kerendahan hatinya. Sikap rendah hati sungguh dituntut, bukan hanya dalam ruang ini, tetapi dalam keseluruhan ruangan. Bahkan boleh dikatakan, kerendahan hati adalah jalan lurus untuk menuju berjumpa dengan Sri Baginda.
Semangat pembedaan roh juga mutlak diperlukan. Anugerah persatuan dengan Allah tidak boleh membuat jiwa sembrono dalam bersikap. Setiap godaan harus tetap dijauhi. Sikap merasa diri cukup kuat terhadap godaan hanya akan menjerumuskan. Kita harus terus tekun berdoa, terus mengembangkan kebajikan-kebajikan, dan terus melakukan pemeriksaan batin. Seperti pernah dikatakan oleh St. Ignatius Loyola bahwa orang yang semakin maju dalam Tuhan harus semakin waspada. Karena godaan si setan semakin lihai, dia memakai setan berkedok malaikat, seperti serigala berbulu domba. Maka dibutuhkan kemauan untuk terus menerus melakukan pemeriksaan batin dan pembedaan roh.

Pertanyaan reflektif:
1.     Berbagi. Apakah aku menerima anugerah dari Allah? Apakah bentuknya? Apakah aku bersedia membagikan pengalaman rohaniku? Bagaimana aku mencoba membagikannya?
2.     Doa persatuan. Bagaimanakah aku memahami doa persatuan dengan Allah ini? Apakah aku sudah cukup dalam ‘makan’ dan ‘minum’ sumber kesegaran jiwa/rohani? Apakah yang biasanya aku santap? Apakah aku terus belajar dengan membaca buku-buku rohani atau telogi yang memberi penjelasan lebih mengenai iman? Apakah aku bersedia masuk ke dalam ‘kepompong’ untuk diubah oleh Tuhan? Apakah aku merasakan ketakutan dan kekhawatiran untuk bersedia diubah secara total oleh Allah? Seperti apakah ketakutan-ketakutan itu?
3.     Cinta sesama. Bagaimanakah aku mengintegrasikan cinta kepada Allah dengan kasih kepada sesama? Bagaimanakah aku menjembatani kesenjangan yang kerap muncul antara mengasihi Allah dan mengasihi sesama? Bagaimanakah sikapku terhadap kelompok fanatis semu dan kelompok humanis?  Bagaimana aku mengupayakan agar tidak jatuh ke dalam salah satu kelompok tersebut?

Comments

Popular Posts