Masuk ke dalam 'Puri Batin', sebuah catatan retret (1) : Sekilas Riwayat Hidup St. Teresa Avila



Sahabat, pada hari pertama retret saya merenungkan riwayat hidup Santa Teresa Avilla, terlebih masa mudanya. Khususnya awal panggilannya ke Karmel, untuk saya jadikan cermin bagi awal panggilan saya sendiri ke Karmel. Kemudian secara lebih mendalam saya diajak untuk merenungkan apa yang menarik dari hidup dan karya beliau yang sangat fenomenal. Karya dan hidupnya kemudian tidak bisa dipisahkan dari semangat pembaharuan yang telah dia lakukan. Di sini saya sendiri ditantang untuk melihat lebih dalam, apakah yang perlu saya perbaharui dalam diri saya.

Sebagai pembuka seluruh peziarahan rohani ini, saya mendapat paparan mengenai hal-hal manusiawi Teresa Avilla. Bahkan tidak banyak hal yang sangat fantastis yang diuraikan. Hal ini saya tangkap dengan sederhana, bahwa santa yang oleh Gereja diangkat menjadi guru doa ini juga manusia biasa. Memiliki daya afeksi dan emosi yang sama dengan manusia yang lain. Beliau bisa sakit, bahkan sangat rapuh secara fisik. Namun perlahan dan itu pasti, kita dibawa kepada satu kenyataan yang membedakan dia dengan yang lain, yaitu rasa takut yang begitu besar kepada Allah dan kerinduannya yang teramat besar untuk bisa bersatu dengan Allah.

Masa Kecil
Teresa lahir pada 28 Maret 1515 dengan nama Teresa de Cepeda y Ahumada di Avilla. Ayahnya, Alonso Sanchez de Cepeda adalah seorang pedagang dan masih memiliki darah Yahudi. Hal ini disembunyikan oleh Teresa demi keselamatan mereka. Karena situasi politik di Spanyol waktu itu kurang baik bagi orang atau warga keturunan Yahudi. Ibunya, Beatriz de Ahumada adalah istri kedua dari Alonso karena istri pertamanya, Catalina del Peso y Henoo meninggal setelah melahirkan dua orang anak bagi Alonso. Teresa sendiri adalah anak ketiga dari 10 anak yang dilahirkan Beatriz bagi Alonso. Teresa sudah menjadi piatu pada usia 11 tahun.
Pengalaman menjadi piatu di usia yang sangat muda, dengan adik yang sangat banyak rupanya mempengaruhi perkembangan spiritual gadis remaja ini. Dia yang oleh ayahnya ‘diserahkan’ ke dalam perlindungan Bunda Maria ini, sejak kecil memiliki kerinduan besar untuk bersatu dengan Allah. Ada sebuah cerita mengenai hal ini ketika Teresa baru berusia tujuh tahun. Dia dan kakaknya Rodrigo ingin menjadi martir. Mereka memiliki pemikiran yang sangat sederhana; menjadi martir adalah jalan yang paling sederhana dan singkat untuk bisa bersatu dengan Allah.
Maka mereka merencanakan perjalanan ke tanah Moro untuk menjadi martir di sana. Waktu itu orang-orang Moro sangat tidak menyukai orang-orang Kristen, bahkan banyak orang Kristen yang dibunuh. Maka kalau mereka pergi ke sana, mereka juga akan dibunuh. Pemikiran yang sangat polos dan sederhana dari dua anak kecil yang memiliki kerinduan besar untuk bersatu dengan Allah.
Rencana besar tersebut mereka jalankan. Mereka pergi meninggalkan rumah dan berjalan ke arah utara, di mana orang-orang Moro tinggal. Di perbatasan kota mereka berjumpa dengan pamannya. Pamannya heran mengapa dua kemenakannya tersebut bisa berada di perbatasan kota. Dia dibuat lebih terkejut lagi oleh alasan dua bocah tersebut yang ingin menjadi martir di tanah Moro. Tentu saja usaha dua kaka beradik ini tidak disetujui, dan mereka dibawa pulang kembali ke rumah.
Peristiwa kecil ini mungkin kelihatan konyol dan tanpa makna. Akan tetapi hal itu menunjukkan bahwa Teresa dan kakaknya telah mengerti apa yang mereka mau. Kiranya tidak banyak anak kecil yang mengerti dengan sadar keinginan terdalamnya, terlebih keinginan spiritual mereka. Mungkin kebanyakan orangtua bertanya perihal cita-cita kepada anak-anak mereka. Jawaban yang diberikanpun biasanya akan berkembang seturut perkembangan usia dan pemahaman si anak. Misalnya, banyak anak-anak kecil jika ditanya keinginan terbesarnya akan menjawab ingin menjadi dokter, atau insinyur, atau presiden. Namun jika mereka beranjak remaja, keinginan itu bisa berubah. Dan setelah menjadi pemuda atau pemudi, mereka malah kebingungan hendak menjadi apa, kebingungan akan keinginan terbesarnya. Juga dalam hal hidup rohani.
Inilah hal istimewa yang bisa dirasakan dari sosok Teresa sewaktu kecil. Hal itu mengingatkan akan sosok Yesus kecil di usia 12 tahun (lih. Luk 2:41-52). Waktu itu, seperti kebiasaan orang-orang Yahudi pada hari Paskah, mereka pergi ke Yerusalem untuk mengikuti perayaan. Waktu itu Yesus dan orangtuanya tinggal di Nazareth, cukup jauh dari Yerusalem. Setelah perayaan usai Yosef dan Maria, serta rombongan yang lain bergegas pulang. Yesus tidak bersama mereka tetapi tinggal di Yerusalem. Orangtuanya tidak mengetahui hal ini. Mereka berpikir bahwa Yesus berjalan bersama sanak saudara yang lain.
Setelah berjalan sehari lamanya, mereka mulai mencari Yesus. Tetapi mereka tidak menemukannya, maka kembalilah mereka ke Yerusalem. Rasa khawatir, takut dan cemas pasti melanda hati kedua orang tersebut. Akhirnya mereka menemukan Yesus duduk diantara kaum cendekiawan dan ahli Kitab Suci di Bait Allah. Yesus tidak duduk diam, tetapi aktif berbicara, bertanya dan memberikan jawab. Bahkan semua orang yang hadir di sana tercengang dan terheran-heran melihat kecerdasan Yesus kecil. Sungguh sesuatu yang sangat mencengangkan, bahkan bagi para ahli dan alim ulama waktu itu.
Maria dan Yosef yang mendapati anaknya berada di dalam kumpulan kaum terpelajar tersebut tentu saja sangat terkejut. Dibalut rasa cemas dan takut, Maria menegur Yesus, “Nak, mengapakah Engkau berbuat demikian terhadap kami? Bapa-Mu dan aku dengan cemas mencari Engkau.” Jawaban Yesus lebih mengejutkan lagi, meskipun mereka tidak memahami apa yang dimaksudkan, “Mengapa kamu mencari Aku? Tidakkah kamu tahu, bahwa Aku harus berada di dalam rumah Bapa-Ku?”
Maria dan Yosef tidak memahami apa yang dikatakan oleh Yesus. Bahkan ketika Yesus mengatakan, “tidakkah kamu tahu?”, sejujurnya mereka tidak tahu. Mereka belum memahami rahasia Allah yang begitu besar. Akan tetapi nanti perlahan-lahan mereka akan menyadarinya dan mulai mengerti. Dulu Maria dan Yosef mendengar rahasia Allah melalui malaikat yang pernah mendatangi mereka. Rahasia yang waktu itu hanyalah gambaran gelap, bahwa ia kan mengandung dari Roh Kudus. Sekarang setalah lebih dari sepuluh tahun waktu berjalan, ia seperti diingatkan lagi bahwa anaknya tersebut bukanlah anaknya. Dia memiliki tugas, Dia hadir bukan tanpa maksud. Dia dan Yosef hanyalah alat yang dipilih dan dipakai Allah untuk melaksanakannya. Peristiwa hari itu menyadarkan kembali Maria dan Yosef bahwa tugas mereka sebagai orangtua tidak boleh menyimpang dari rencana Allah. Anak mereka harus berada di rumah Bapa-Nya.
Membaca dan merenungkan masa kecil Teresa telah meloncatkan refleksi saya akan masa kecil Yesus. Teresa sudah menyadari tugas dan panggilannya, keinginan terbesarnya. Bagaimana dengan saya sendiri? Apakah di masa kecil dulu telah paham akan apa yang hendak saya capai? Apakah saya sudah memahami apa yang saya cari? Saya tidak tahu pasti. Tetapi ada beberapa kisah yang kiranya menarik untuk saya bagikan di sini. Sampai dengan usia 12 tahun, saya telah berpindah rumah sebanyak 3 kali. Tentu saja saya mengikuti orangtua saya yang berpindah-pindah. Ketika dilahirkan, orangtua saya belum memiliki rumah. Mereka masih menumpang di rumah kakek nenek saya. Pada usia 3 tahun orangtua saya mulai membangun rumah mereka sendiri. Proses membangun rumah bukanlah waktu yang singkat. Toh demikian saya selalu dibawa. Mereka tidak memiliki kendaraan, jadi saya selalu digendong, karena jaraknya cukup jauh.
Di rumah baru inilah saya menghabiskan masa kanak-kanak hingga sekitar usia 9 tahun. Saya tidak tahu pasti berpa lama kami tinggal di rumah baru itu. Kemungkinan hanya sekitar 5 atau 6 tahun saja. Karena ketika saya kelas 3 SD kami pindah lagi. Entah apa alasan yang mendasar, orangtua saya kembali membangun rumah di dekat rumah kakek nenek saya.
Meskipun kami hanya tinggal sekitar 6 tahun di rumah baru, namun saya telah menjalin persahabatan dengan Nanang, tetanga depan rumah. Usianya setahun lebih tua dari saya, namun kami sangat akrab. Setiap hari bermain, tidak jarang sampai malam hari. Dia anak kedua, sedangkan saya anak pertama. Kakaknya seorang perempuan, dan saya waktu itu memiliki adik laki-laki yang pada usia 7 bulan sudah diadopsi oleh paman.
Setiap anak memiliki cita-citanya sendiri. Ada yang wajar ada yang tidak masuk akal. Ada yang membanggakan ada yang menggelikan. Demikian pula dengan kami. Nanang bercita-cita menjadi pengamen, sedangkan saya bercita-cita menjadi petani yang memiliki gubuk di sawah. Cita-cita yang sangat sederhana. Bahkan saya sempat melupakan cita-cita saya tersebut sampai paman saya mengingatkan saya akan cita-cita itu di hari tahbisan saya.
Mengapa saya bercita-cita menjadi petani yang memiliki gubuk di sawah? Mengapa sahabat kecil saya memiliki cita-cita menjadi seorang pengamen? Tentu alasannya sangat lucu dan sentimental sekali. Kakek saya memiliki sawah yang cukup luas. Bahkan ia menyewakan beberapa petak kepada orang lain, termasuk bapak saya menyewa sepetak untuk digarap. Hal yang menyenangkan saya adalah menjaga padi yang bulir buahnya mulai berisi dari serbuan burung-burung. Dengan membawa bekal makanan, saya bisa menghabiskan seharian bermain-main di sawah sambil mengusir burung-burung yang mencoba mencuri padi-padi kami. Di sanalah ada gubuk, rumah kecil tempat kami beristirahat jika lelah datang. Tak jarang saya tertidur di sana.
Memiliki sawah dan gubuk itu menyenangkan. Bisa bermain dan beristirahat sungguh menggembirakan. Apakah cita-cita saya itu kemudian terwujud, tidak dalam arti harafiah, namun terwujud dalam makna symbol. Saya sekarang menjadi seorang imam, yang tidak memiliki sawah dan gubuk. Namun saya memiliki ‘sawah’ yang lebih luas untuk digarap. Saya juga memiliki ‘gubuk’ yang cukup luas untuk orang-orang datang mencari kelegaan. Banyak orang datang berbagi kepenatan dan menumpang sejanak untuk berisitirahat. Boleh dikatakan, saya telah membangun sebuah ‘gubuk’ untuk banyak orang yang lelah. Sedangkan ‘sawahnya’ sangat luas bahkan tak terbatas.
Kisah ini sepertinya saya buat-buat belaka. Bahkan saya tertawa geli ketika mengingat dan memikirkannya. Namun saya yakin bahwa apa yang kita inginkan dengan jujur di masa kecil dulu, bisa terwujud sekarang ini. Seperti juga sahabat saya, Nanang. Dia juga telah mewujudkan cita-cita masa kecilnya dulu. Yaitu menjadi seorang pengamen. Dia tidak menjadi pengamen yang berkeliling dari rumah ke rumah atau dari satu bis ke bis yang lain. Dia menjadi pengamen dari satu hajatan ke hajatan yang lain. Bersama ayahnya, dia memiliki usaha ‘entertainment’ ala kampung dengan menyewakan sound system bagi orang-orang yang berpesta. Bukankah itu juga mengamen? Bukankah kalau demikian cita-cita masa kecilnya juga sudah terwujud?

Masa Remaja
Masa remaja Teresa dihabiskan di asrama. Seperti yang saya tuliskan di atas bahwa Teresa telah menjadi seorang piatu di usia yang sangat muda, yaitu 11 tahun. Teresa remaja bertumbuh layaknya remaja yang lain, mulai suka bersolek dan berdandan. Juga buku-buku cerita percintaan mulai dibacanya. Hal yang wajar bagi remaja. Namun tidak bagi bapaknya. Maka dimasukkannyalah dia ke asrama suster-suster St. Agustinus. Dengan harapan Teresa mendapatkan pendidikan yang baik di sana. Rupanya pada waktu itu sangat umum bahwa orang-orang kaya menitipkan anak gadisnya di asrama agar ‘tidak tercemar’ pergaulan bebas di luar sana. Selama di asrama dia berkenalan dengan Sr. Maria Briceno. Dengannya Teresa banyak melakukan percakapan rohani, yang kemudian mendorongnya untuk masuk biara. Tidak banyak hal yang bisa saya katakan mengenai masa remaja dan masa muda Teresa, selain kehidupannya di asrama.
Ada satu hal yang menarik hati saya, yaitu dia dikatakan lari dari rumah dan masuk Biara karmel Inkarnasi. Pasti ada alasan yang sangat mendasar baginya untuk masuk biara. Sayang ia tidak diijinkan oleh orangtuanya, maka dia melarikan diri dari rumah dan masuk biara. Apakah alasannya yang begitu kuat itu sehingga memampukan dia untuk kabur dari rumah? Ternyata adalah neraka. Teresa sangat takut masuk neraka, maka dia ingin menjadi biarawati. Peristiwa ini menyentuh hati saya, karena hal yang sama terjadi dengan diri saya sendiri. Bukan perkara takut masuk neraka, tetapi perihal lari dari rumah. Alasan paling jujur saya masuk seminari adalah lari diri dari rumah. Tentu hal ini tidak pernah saya ceritakan kepada para romo pembimbingdi seminari. Begini ceritanya.
Kebanyakan remaja, di masa akil balignya senantiasa menginginkan kebebasan. Mereka biasa memberontak terhadap orangtuanya. Ada yang berani melakukan dengan frontal, ada yang tidak. Ada yang berhasil pergi dari rumah, ada yang terpaksa tinggal dengan menggerutu. Saya sendiri mengalami rasa jenuh tinggal di dalam rumah orangtua. Ada keinginan untuk bebas, untuk pergi jauh. Tetapi harus ada alasan yang tepat sehingga saya bisa pergi dengan ‘baik-baik’. Kebetulan ada pengumuman masuk seminari. Nyala terang bersinar di kepala saya. Akhirnya saya temukan alasan itu, alasan untuk pergi dari rumah. Yaitu masuk seminari.
Jika saya hanya ingin sekolah di kota, pasti orangtua saya akan menolak. Tidak ada cukup dana untuk membiayai sekolah dan tempat tinggal. Sedangkan alasan masuk seminari pasti diterima. Pikiran saya sederhana, ‘bagaimana mungkin keinginan luhur bisa ditolak?’. Ternyata usaha inipun tidak berjalan mulus. Pada awalnya ibu saya keberatan kalau saya masuk seminari. Beliau menawarkan hal lain agar saya tidak pergi dari rumah. Tetapi saya bersikeras masuk. Sebuah pemikiran ‘licik’ yang di kemudian hari saya sadari telah dipakai oleh Allah sendiri. Toh ada banyak kisah dalam Kitab Suci yang menceritakan hal yang kurang lebih sama.
Ambillah kisah mengenai Yakub yang mendapatkan berkat dari ayahnya, Ishak (bdk. Kej 27). Berkat itu seharunya diberikan kepada Esau. Namun Ribka, istri Ishak menghendaki agar Yakublah yang mendapatkan berkat dari ayahnya. Maka dibuatlah usaha tipu daya. Sesuatu yang sangat buruk. Sebuah contoh yang tidak baik bagi generasi yang berikut. Namun itulah yang terjadi, dan itulah kemudian yang dipakai Tuhan. Ada sesuatu yang kerapkali tidak masuk akal manusia, namun digunakan Allah untuk melaksanakan kehendak-Nya.
Saya menyadari alasan awal mengapa saya masuk seminari. Bukan karena mendengar panggilan Tuhan. Bukan sebuah kerinduan yang sangat mendalam untuk bisa melayani Tuhan. Bukan sama sekali. Namun sebuah pelarian. Rasa bosan di rumah, kemarahan akan sikap ayah yang keras, dan keinginan untuk bisa bersekolah di kota telah melahirkan sebuah ‘pelarian’.
Alasan itu saya terima, namun di kemudian hari alasan tersebut saya perbaharui. Ketika memasuki tahun ketiga di seminari, saya melakukan refleksi. Alasan utama saya masuk seminari muncul kembali. Namun saya menemukan alasan sederhana yang membuat saya bertahan, “alasan saya masuk seminari adalah sebuah pelarian, toh bukan pelarian yang buruk”.
Apakah saya sama sekali tidak memiliki keinginan untuk menjadi imam? Ternyata keinginan tersebut pernah ada. Ketika masih duduk di bangku sekolah dasar, beberapa kali saya ditanya mengenai kenginan terbesar kalau sudah besar nanti. Jawaban yang kerap saya berikan adalah, ‘ingin menjadi pastor’. Bukankah itu luar biasa? Tetapi itu semua lenyap ketika saya masuk sekolah menengah pertama. Tidak ada lagi keinginan untuk menjadi seorang imam. Keinginan yang terbesar adalah mencari pacar, yang gagal saya dapatkan sampai saya lulus SMP. Hanya keinginan dan keinginan belaka. Tidak ada hasilnya.
Hal lain yang mungkin boleh dihitung adalah rasa suka  saya terhadap sekolah minggu. Bahkan sejak rumah saya jauh dari Gereja, saya memiliki kerinduan yang besar untuk bisa ikut sekolah minggu. Orangtua saya tidak memiliki pengetahuan yang luas mengenai iman katolik. Mereka, terutama ibu, memiiki kesabaran dalam mengajar berdoa, tetapi tidak mengenai pengetahuan yang lain. Maka sekolah minggu adalah saat yang senantiasa saya nantikan. Ada sesuatu yang begitu kuat menarik saya, yang tidak mampu saya jelaskan. Saya tidak pernah membolos sekolah minggu. Rasanya sangat rugi kalau sampai saya tidak datang. Saya akan melewatkan kisah-kisah hebat yang hanya bisa saya dengar di sana. Saya merasakan bahwa melalui sekolah minggu Tuhan telah menanamkan sesuatu di dalam diri saya. Kenangan manis sekolah minggu terus melekat di hati.

Masuk Karmel
Teresa masuk Karmel pada usia 20 tahun, dikatakan sebagai pelarian dari rumah. Sedangkan saya masuk Karmel pada usia 18 tahun menjelang 19 yang bagi saya adalah satu-satunya pilihan. Teresa masuk biara Karmel Inkarnasi yang berisi 180 suster. Saya masuk biara Karmel Ratu Para Rasul (Regina Apostolorum) Batu yang berisi 39 frater dan tiga imam serta dua bruder kalu kekal. Saya adalah yang termuda di sana. Mengapa saya masuk Karmel? Mengapa saya katakan bahwa itu adalah satu-satunya pilihan? Apakah yang saya cari di sana? Apakah sekarang saya telah menemukan apa yang saya cari tersebut? Dulu saya tidak begitu memikirkan hal ini sampai Fr. Kent, MGL menanyakan hal tersebut kepada saya seusai misa Krisma di Katedral Melbourne.
Mengapa saya memilih Karmel dan bukan tarekat yang lain? Karena memang hanya Karmellah tarekat religius yang saya kenal pada waktu itu. Pilihan lain adalah menjadi imam Projo. Tetapi mengapa saya memilih Karmel, alasannya sederhana, karena persaudaraan. Saya merasa tidak bisa hidup sendiri. Saya membuthkan komunitas dan saudara. Karmel menawarkan hal tersebut. Maka saya memilihnya.
Saya tidak mengenal tarekat yang lain, karena di paroki dan seminari yang ada hanya imam Karmel. Baru di kemudian hari saya ketahui bahwa ada banyak tarekat di dalam Gereja. Kemudian saya juga mengetahui bahwa di Karmel bukan hanya ada persaudaraan, tetapi juga ada doa dan pelayanan. Dan bahwa ketiganya harus dijalankan bersama.
Pertanyaan berikutnya, apakah saya sudah mendapatkan apa yang saya cari? Apakah persaudaraan yang dulu menarik saya ke Karmel sungguh saya dapatkan? Saya sulit menjawabnya. Karena persaudaraan adalah sesuatu yang harus saya usahakan, bukan sesuatu yang begitu saja bisa saya raih. Mengusahakan persaudaraan itu mesti dilakukan bersamaan dengan mengupayakan hidup doa dan melakukan karya pelayanan. Semuanya menjadi satu kesatuan. Hidup dalam semangat persaudaraan itu juga bukan berarti hidup tanpa konflik, yang tidak ada perbedaan pendapat. Hidup semacam itu tetap ada, dan manusiawi sekali. Bahkan ada pertengkaran yang membawa kepada permenungan yang lebih mendalam akan makna hidup bersaudara.
Sekarang setelah 16 tahun hidup di dalam Karmel, 9 tahun berkaul kekal dan 7 tahun sebagai imam, semangat persaudaraan, hidup doa dan pelayanan harus terus diupayakan. Apalagi jika diukur dengan kriteria yang dibuat dalam RIVC, sungguh saya masih berada di tempat yang sangat jauh. Ada kalimat kecil yang menjadi penghibur, saya masih seorang karmelit, minimal terus berusaha menjadi karmelit yang baik. Meskipun kriteria baik itu sangat sulit mengukurnya. Karena kerapkali sangat subjektif.
Memang ada saat di mana semuanya berjalan dengan baik, namun tak jarang bahwa hal tersebut begitu berat untuk dilakukan. Kesulitan datang namun bukan menjadi alasan untuk menyerah. Keberhasilan juga bukan alasan untuk bermegah dan berhenti memperbaiki diri. Ada banyak yang telah saya ketahui, namun ada lebih banyak hal lagi yang tidak atau belum saya ketahui. Berpuas diri dan berhenti belajar hanya akan membawa kepada keterpurukan. Tetap rendah hati dan terus belajar kiranya sangat penting untuk bisa sungguh menghayati hidup sebagai karmelit.

Pembaharuan
Teresa adalah pembaharu Karmel, bahkan Gereja. Dia hidup pada jaman di mana kehidupan menggereja sungguh buruk. Biara Inkarnasi di mana dia tinggal berisi 180 suster. Sungguh tidak kondusif untuk bisa menghayati hidup Karmel yang sejati. Terlalu bising dan terlalu duniawi. Bahkan tidak jarang suster-suster yang berasal dari keluarga kaya masuk dengan membawa pembantu. Mereka memiliki ruang tersendiri dan bisa masak memasak dengan bebas. Suster yang berpenampilan menarik dipakai untuk menarik banyak tamu yang berkonsultasi, termasuk Teresa. Keadaan itu makin lama membuat Teresa jengah. Dia menghabiskan banyak waktu di ruang tamu, berbicara dengan banyak orang, yang menurutnya tidak berguna sama sekali. Itu hanya mengurangi kesempatan berbicara dengan Tuhan.
Akhirnya keadaan tersebut tidak bisa ditahan lagi. Setelah cukup lama hidup suam-suam kuku, Teresa mengambil keputusan yang tegas. 24 Agustus 1562 ia mendirikan biara pertama hasil pembaharuan. Biara dengan jumlah suster yang tidak banyak, sekitar 12 orang. Juga menekankan kemiskinan dan kesderhanaan hidup. Biara tersebut dipersembahkan kepada St. Yosef. Kebetulan Teresa memiliki devosi yang sangat kuat kepada suami Bunda Maria tersebut. Pengalaman disembuhkan melalui doa St. Yosef membuat cintanya kepada bapa angkat Yesus ini begitu besar. Atas dukungan Bapa Suci dan pemimpin tertinggi Ordo, Teresa juga memulai pembaharuan terhdap Karmel pria. Bersama Sr. Yohanes Salib tugas tersebut membuahkan hasil yang gemilang. Bukan hanya bagi Ordo, namun juga bagi Gereja universal. Apakah hal tersebut tidak mengalami tantangan dan kesulitan? Tentu saja ada banyak halangan dan kesulitan, entah dari dalam diri Teresa, Ordo maupun dari pihak luar. Banyak pemikirannya tidak dipahami, tidak sekali ia dikatakan sebagai nenek sihir. Toh ia terus berjalan sampai akhirnya ia mendirikan 17 biara pembaharuan.
Bagaimana dengan saya? Apakah semangat pembaharuan yang saya bawa? Apakah ada dalam diri saya yang membutuhkan pembaharuan? Jika dijawab dengan sederhana maka seluruh hidup saya harus diperbaharui. Ada banyak kebobrokan di sana. Ada banyak hal yang sungguh tidak selaras dengan regula dan hukum cinta kasih. Ada terlalu banyak hal duniawi yang telah memengaruhi seluruh hidup saya. Karena ada begitu banyak, seperti rumah yang telah rusak, tentu menimbulkan kebingunang untuk memperbaikinya. Akan lebih mudah dibongkar total dan dibangun dari awal. Apakah manusia bisa seperti itu? Apakah manusia bisa seperti computer yang jika telah terkena banyak virus tinggal diformat dan diisi program baru? Bukankah manusia tidak seperti itu? Lantas bagaimana membuat dan memulainya?
Hal dasar yang saya temukan inspirasinya dari Teresa adalah menemukan arah dasar yang tepat dan mengembalikan arah yang melenceng. Arah yang melenceng di sini adalah berbagai kehendak dan keinginan. Termasuk di dalamnya adalah minat-minat. Menyadari tugas dan panggilan dasar seorang imam, seorang biarawan, seseorang yang diharapkan lebih dalam hal rohani. Apakah yang diperlukan? Persahabatan yang mendalam dengan Allah. Itulah yang utama dan perlu. Maka segala hal yang menghalangi hal tersebut mesti disingkirkan. Jika tidak bisa langsung bisa bertahap. Namun jika bertahap hanya akan menghambat, maka babat saja dalam sekejap. Teresa juga menyadari kelebihannya, dan ia memakainya untuk membawa jiwa-jiwa kembali kepada Tuhan. Seperti dia memakai daya tariknya untuk membawa kembali pastor yang hidup dalam dosa untuk kembali mencintai Allah.
Ada beberapa kesadaran yang telah saya miliki, kalau boleh dikatakan sebagai awal sikap membaharui hidup. Pertama, mengindari keriuhan dunia maya. Dulu saya sangat aktif di dunia maya, yaitu facebook. Meskipun banyak orang berkata mendapat manfaat dari sana, tetapi itu merugikan saya. Di sana saya banyak sekali berbicara tentang Tuhan. Setiap hari saya melakukan, dari bangun tidur hingga menjelang tidur. Mulai dari membaharui status hingga membuat renungan-renungan. Semuanya bersifat sangat rohani. Semuanya tentang Tuhan. Namun jika ditanyakan lebih dalam, apakah aktivitas berbicara tentang Tuhan itu sebanding dengan aktivitas saya berbicara dengan Tuhan? Jawabannya adalah Tidak! Bahkan kesibukan berbicara tentang Tuhan itu telah menyita sekian banyak waktu untuk berbicara dengan Tuhan. Maka dengan kesadaran penuh saya menutup akun FB pada tahun 2010, sebuan menjelang hari ulang tahun.
Kedua adalah minat pribadi. Dulu saya tidak tahu apa yang saya minati, hampir setiap hal saya sukai. Bidang sosial kemanusiaan saya senang, seni dan budaya saya masuki, olah raga dan politik juga saya bacai, bahkan aktivitas fotographi juga saya terjuni. Istilahnya, orang mengatakan apa saja saya bisa menyambungnya. Namun jika dilihat lebih lanjut, tidak ada yang benar-benar saya pahami. Semua saya mengerti dengan sangat mendangkal saja.
Juga akan kegemaran saya membeli buku. Ada banyak sekali buku-buku yang saya koleksi, semua berasal dari berbagai segi. Tidak jelas apa yang saya kehendaki, semua saya maui, sungguh tidak tahu diri. Ada sastra ada politik. Ada lingkungan ada Kitab Suci. Ada masalah social ada masalah pendampingan rohani. Semua saya beli. Ini benar-benar tidak sehat. Maka perlahan-lahan saya mulai menentukan arah, manakah yang hendak saya daki. Karena kalau saya menghendaki semua, maka tak satupun yang saya bisa; saya harus menentukan satu yang sungguh saya suka. Maka berhentilah saya berkeliling toko buku. Jika kebetulan saya di sana, semakin jelas apa yang saya mau. Hanya buku-buku yang berkaitan dengan Kitab Suci dan hidup rohani yang saya beli. Ini baru langkah awal sekali. Dan retret ini adalah bagian dari proses pembaharuan diri tersebut.
Menerima anugerah Tuhan untuk memakainya sebagai sarana membawa jiwa-jiwa kembali kepada Tuhan adalah langkah pembaharuan yang lain. Dalam testimony yang ditulis oleh umat KKI Melbourne menjelang kepulangan saya ke Indonesia, saya menemukan sesuatu yang baru mengenai diri saya. Mungkin bukan sesuatu yang baru sama sekali, tetapi saya baru saja menyadarinya. Tuhan mengaruniakan kepada saya kemampuan untuk berbicara/berkhotbah, mengajar juga menulis. Banyak dari mereka terkesan dengan khotbah saya. Banyak hati yang tersentuh untuk kemudian berefleksi. Ketika membaca satu persatu tulisan tersebut terbersit satu pertanyaan, apakah mereka menulis tentang saya atau tentang orang lain. Sepertinya saya masih jauh dari apa yang dikatakan oleh orang-orang tersebut. Di sini saya belajar untuk menerima anugerah Tuhan. Seperti juga Teresa menerima anugerah Tuhan dan memakainya demi kemuliaan Tuhan.
Semoga saya semakin mengenali diri saya sendiri. Melihat aneka kelebihan dan kekurangannya. Kemudian semoga saya bisa memakai segala anugerah Tuhan tersebut demi kemuliaan-Nya. Membawa banyak jiwa kembali kapada Allah. Terlebih lagi, semoga semua ini membuat saya semakin dekat dengan Tuhan serta semakin mencintai-Nya. 

Pertanyaan reflektif:
1.     Apakah saya memiiki kerinduan akan Allah di masa kecil, masa remaja dan pada saat ini? Apakah yang saya lakukan untuk memenuhi kerinduan akan Allah tersebut?

(Catatan selanjutnya: Ruang pertama)

Comments

Popular Posts