God alone suffice!





Sahabat, saya sedang menikmati liburan di rumah orangtua. Seperti biasanya kalau saya di rumah, Simbok saya selalu sibuk menyiapkan berbagai penganan. Ada pisang goreng, jadah goreng, singkong goreng, dll. Biasanya dihidangkan pagi hari sebelum sarapan. Penganan itu disediakan banyak sehingga cukup untuk satu hari. Temannya biasanya kopi atau teh manis, terkadang juga kopi susu. Tergantung persediaan. Hidangan itu sudah ada ketika saya keluar kamar.
Tentu saja saya menyukainya. Maka sebelum mandi, bahkan tidak jarang aktivitas mandi pagi tidak ada karena ‘alasan liburan’, saya sudah mencomot satu atau dua potong dan seteguk minuman. Setelah bermain dengan keponakan, biasanya Simbok berteriak dari dapur menyatakan bahwa sarapan pagi sudah siap. Tanpa membantah saya menuju dapur untuk sarapan, seperti yang saya katakana di atas kerap sebelum acara mandi.
Karena perut sudah terganjal penganan, maka saya hanya mengambil sedikit nasi. Simbok selalu complain, mengapa saya hanya mengambil sedikit nasi. Saya juga selalu menjelaskan bahwa perut sudah terganjal penganan. Simbok tidak pernah mengerti alasan saya, dan saya tidak jemu menjelaskan bahwa perut saya tidak tergantung dengan nasi. Apa saja yang masuk itu cukup, tetapi bagi Simbok tidak. Kalau perut belum terisi nasi berarti belum makan. Diskusi singkat seperti ini kerap terulang sewaktu makan siang dan makan malam, juga keesokan harinya. Terus demikian dan kami tidak juga bosan. Bagi Simbok, sebelum makan nasi berarti belum makan. Bagi saya, apa saja yang masuk perut berarti makanan, dan seteah menyantapnya berarti makan. Sudahlah.
Sahabat, mungkin diskusi semacam ini bukan hanya terjadi di keluarga saya. Mungkin juga banyak keluarga mengalaminya dengan variasi yang berbeda. Dengan bumbu dan selingan yang berbeda. Intinya, apakah yang membuat perut berkata ‘ini cukup’ atau ‘sebelum menyantap itu belum cukup’. Ini baru diskusi soal makanan dan isi perut. Sesuatu yang mendasar dan manusiawi. Apakah ada diskusi yang lebih mendalam lagi, mestinya ada. Misalnya mengenai kasih Allah. Apakah ini bisa menjadi bahan diskusi di meja makan? Bisakah dibicarakan dengans antai seperti saat membahas mana yang lebih enak antara sambal terong pedas plus kemangi dan sambal tempe dengan kemangi.
Bagaimana membandingkan dua hal tersebut. Membahas makanan dan membahas kasih Allah. Seolah keduanya begitu berseberangan. Seolah keduanya tidak bisa duduk berdampingan dan saling beradu lelucon. Sejatinya keduanya bisa dipadukan. Syaratnya adalah, kita mau memahami keduanya sebagai kebutuhan.
Mari kita urai sedikit. Secara sederhana manusia itu kerap dibagi menjadi dua, jasmani dan rohani. Ada badan yang jamani da nada jiwa yang rohani. Sekali lagi, ini hal yangs angat mendasar. Menikmati nasi goreng di pinggir sungai pada sore hari, bisa diurai menjadi dua hal. Nasi goreng sendiri menyuplai kebutuhan badan. Tetapi kelesatannya dan keindahan panorama senja itu mengenyangkan jiwa. Kepuasannya bukan terletak pada lidah, tetapi pada hati.
Badan butuh makanan untuk bertumbuh dan sehat, demikianpun jiwa perlu asupan gizi yang seimbang untuk berkembang dengan sehat. Berbagai makanan bisa kita olah untuk menyehatkan badan. Banyak ahli mencoba meramu berbagai bumbu dan bahan untuk mengahdirkan rasa dan khasiat yang menyehatkan. Cukup karbo, cukup kalori, cukup mineral, cukup vitamin, cukup protein, cukup lemak, dll. Bagaiman dengan makanan jiwa? Bagaimana mengolah berbagai bahan yang ada? Ada yang suka ‘jajan’ makanan rohani. Dari satu seminar ke seminar yang lain. Dari satu guru ke guru yang lain. Dari satu buku ke buku yang lain. Semua dicoba, semua dicicip, untuk mencari makanan rohani terlezat. Beranikan kita hanya mencukupkan kepada Tuhan saja? Apakah yang masih kurang jika kita sudah memiliki Allah?
Mungkin kita tidak benar-benar menginginkan Allah sebagai satu-satunya penopang kehidupan kita. Atau mungkin kita menginginkan Allah, tetapi hanya satu dari antara kenginan yang lain. Bahkan dalam daftar kebutuhan kita, Allah menempati urutan ke sekian. Maka patutu kita bertanya, bernarkan kita benar-benar menginginkan Allah?
Hal ini terjadi karena kebanyakan dari kita tidak benar-benar memerhatikan urusan rohani. Yang dipentingkan adalah apa yang kelihatan. Kalau saya memakai baju yang bagus, itu kelihatan. Kalau saya pergi ke gereja, itu kelihatan. Tetapi mencintai Allah, menjalin relasi dengan Allah secara pribadi, itu tidak kelihatan. Pergi ke gereja tidak selalu sama dengan menjalin relasi pribadi dengan Allah. Pergi ke gereja bisa hanya sebagai penuntaan kewajiban belaka. Tetapi menjalin relasi pribadi bukanlah kewajiban, dan bukan juga kebutuhan tetapi sebuah kehidupan. kebutuhan mendasar yang membuat seseorang benar-benar hidup, hidup yang sesungguhnya.
Santo Lukas dalam Injilnya menuliskan bahwa “di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada” (Luk 12:34). Apakah Allah sudah menjadi harta teristimewa kita? Sehingga pikiran kita tercurah kepada-Nya? Ataukah Dia hanya menjadi salah satu penghias rumah hati kita? sehingga terkadang saja memikrikan-Nya. Dan tidak mencukupi kalau hanya memiliki-Nya saja, sehingga kita membutuhkan yang lainnya, yang bukan Allah.
Apakah korelasinay dengan makanan yang saya uraikan di atas? Kebutuhan akan makanan adalah cara berlatih untuk bisa mencukupkan dengans esuatu yang mendasar. Karena kemajuan jaman, juga pertumbuhan ekonomi, kerap manusia diperbudak oleh perut. Makan dan acara makan-makan kerap bukan lagi menjadi ajang 'demi hidup'. tetapi sudah menjadi gaya hidup. Makan bukan lagi kebutuhan mendasar, tetapi sudah dipoleh menjadi kebutuhan tambahan. Makan bukan lagi soal apa yang terhidang di piring, tetapi bagaimana makanan itu dihidangkan.
Demikianpun dengan kebutuhan jiwa. Ketika perut kita tidak bisa dipuaskan dengan apa yang ada, demikianlah juga jiwa kita. Dia akan terus haus dan haus, lapar dan lapar. Bahkan ketika sudah mendapatkan kasih Allah, jiwa itu masih lapar, karena tidak benar-benar tahu apa yang dimau. Jiwa tidak lagi melihat Allah sebagai pemnuhan satu-satunya. Perlu kemasan-keamsan yang sebenarnya bersifat tambahan.
Sahabat, memiliki Allah saja sudah lebih dari cukup. Tidak ada alasan untuk mencari yang lain, yang hanya bersifat tambahan. Kecuali kita tidak tahu apa yang benar-benar berguna untuk hidup. Kecuali kita tidak benar-benar tahu apa yang dibutuhkan untuk hidup. Hidup bukan hanya sekarang, tetapi juga nanti dalam kekekalan. Allah saja cukup. Maka baiklah kita berseru bersama St. Teresa Avilla, “sebab jika aku telah memiliki-Mu Tuhan, aku tidak perlu menginginkan yang lain, Engkau saja cukup bagiku.”

Tuhan memberkati.  



Comments

Popular Posts