Relasi Kasih (1) - revisi


Sahabat, pertumbuhan hidup rohani ditandai dengan berkembangnya relasi kasih. Relasi kasih itu terjalin dalam empat bagian antara aku dengan Allah, aku dengan diriku sendiri, aku dengan sesama dan aku dengan ciptaan lain.
Bagian pertama catatan ini berkisah mengenai relasi kasih antara aku dengan Allah. Selamat membaca.


Mintalah… Ketuklah … Berjalanlah...

Sahabat, mungkin kalian pernah mengalami suatu peristiwa yang sungguh nampak bertentangan namun terjadi berurutan. Katakanlah dua pengalaman yang seolah bertentangan namun itu terjadi nyaris bersamaan dalam hidup Anda. Mungkin Anda kerap mengalaminya. Pengalaman itu saya alami kemarin ini.
Pengalaman pertama adalah curhat dari seorang sahabat mengenai doa yang seolah tak pernah terdengar. Jangankan terjawab, terdengarpun seolah tidak. Ceritanya demikian: sahabat ini memiliki seorang kakak yang sedang dirundung masalah berat. Seluruh keluarga bersatu padu untuk membantu dengan doa dan nasihat. Mereka juga hadir memberi dukungan moril. Bukan hanya keluarga, mereka juga menghubungi banyak teman yang bisa dihubungi untuk membantu mendoakan. Hasilnya, jauh dari harapan. Seolah Tuhan begitu kejam karena tidak mau mendengar doa anak-Nya. Padahal mereka adalah orang-orang yang rajin dan tekun dalam pelayanan. Mengapa Tuhan melakukan ini? Mengapa Dia begitu tega? Jika diumpamakan bahwa doa itu seperti mengetuk pintu, mereka ini sudah menggedor pintu, toh tidak dibukakan juga.
Pengalaman kedua datang sore hari. Dalam perayaan Ekaristi, Injil mengisahkan mengenai ajaran Yesus perihal mintalah maka kamu akan diberi dan ketuklah maka pintu akan dibukakan (Mat 7:7-11). Mendnegar bacaan tersebut saya tercenung cukup lama. Bagaimanakah harus meminta? Bagaimanakah harus mengetuk? Sahabat saya ini sudah hampir menyerah untuk meminta dan mengetuk. Iman merekapun mulai goyah karena doa-doa itu seolah tak terdengar.

Relasi kasih
Dua peristiwa itu membawa saya kepada permenungan relasi kasih. Mengapa Yesus mengajari murid-Nya untuk meminta dan mengetuk jika pada akhirnya tidak akan dikabulkan? Bukankah itu hanya akan menjadi olok-olok belaka? Rupanya kita mesti melihat secara lebih lengkap. Kita mesti melihat latar belakang ajaran Yesus ini dan melihat kaitannya dengan ajaran sebelumnya.
Ajaran Yesus mengenai pengabulan doa ini adalah bagian dari kumpulan khotbah Yesus yang pertama, biasa dikenal sebagai khotbah di atas bukit. Bagian awal dari khotbah itu adalah perihal relasi antara manusia dengan Allah. Yesus menjelaskan dalam Sabda Bahagia dengan mengulang hingga sepuluh kali siapakah orang yang berbahagia itu. Dan yang berbahagia adalah mereka yang mengandalakan Tuhan dalam hidupnya, yang memiliki relasi pribadi dengan Allah. Kemudian disambung dengan panggilan pengikut Kristus sebagai terang dan garam bagi dunia.
Bagian kedua khotbah di atas bukit berbicara mengenai doa. Yesus mengajarkan sebuah doa yang sangat sederhana, kita kenal sebagai doa Bapa Kami. Inti doa itu adalah membiarkan rencana Tuhan terjadi atas diri kita dengan membebaskan hati dari segala keinginan pribadi. Kemudian disusul dengan ajaran mengenai berpuasa, mengenai mengumpulkan harta, perihal kekhawatiran, hal menghakimi dan pada akhirnya sampai kepada hal pengabulan doa.
Jika kita lihat sekilas susunan ajaran Yesus itu, Dia menempatkan relasi pada bagian awal sedangkan pengabulan doa pada bagian akhir. Relasi pribadi yang intim bak sepasang kekasih yang saling mencintai. Itulah yang terpenting, sedangkan memberi dan menerima akan terjadi begitu saja jika relasi kasih ini telah terwujud. Namun sayang, banyak dari kita hanya melihat bagian perbagian. Mereka hanya melihat perikop pengabulan doa itu dan kemudian memegangnya erat-erat tanpa menghiraukan ajaran untuk menjalin relasi dengan Allah.

Keluarga Betania
Dipengaruhi oleh Thomas Keating dalam bukunya "The Better Part", saya tergoda untuk menjelaskan hubungan relasi kasih dengan pengabulan doa dengan mengambil contoh keluarga Betania. Keluarga Betania yang saya maksudkan adalah tiga bersaudara Martha, Maria dan Lazarus. Mereka rupanya memiliki hubungan yang dekat dengan Yesus. Dalam Kitab Suci diceritakan bagaimana Yesus kerap singgah di rumah mereka. Bukan hanya singgah, terkadang juga makan dan minum. Saya tidak tahu apakah Yesus juga terkadang menginap di rumah mereka. Mungkin saja hal itu terjadi.
Singkatnya, hubungan ketiga bersaudara ini sangat dekat dengan Yesus. Kemudian, apakah karena hubungannya sudah sangat dekat lantas apa saja yang diminta oleh mereka akan segera dikabulkan oleh Yesus? Ternyata tidak.
Mari kita lihat peristiwa Lazarus yang sakit keras. Jamak kita kenal bahwa Yesus sudah membuat mukjizat di mana-mana. Banyak orang sakit disembuhkan, mereka yang dikuasai roh jahat mampu dibebaskan, dan masih banyak cerita yang lain lagi. Maka, ketika Lazarus sakit, Maria dan Martha mengirim kabar kepada Yesus. “Tuhan, dia yang Engkau kasihi sakit” (Yoh 11:3c). Pesan itu begitu sederhana, namun menunjukkan hubungan relasi yang intim. Hubungan kasih dengan mengatakan “dia yang Engkau kasihi”. Pemilihan kata ini menjelaskan segalanya. Termasuk harapan yang terkandung di dalamnya. Bukankah Yesus telah melakukan banyak hal kepada orang lain? Pastilah Dia akan membuat hal serupa terhadap dia yang Ia kasihi. Apakah Yesus sontak menjawab IYA dan segera bergegas pergi? Ternyata tidak!
Yesus tidak segera bergegas pergi ke Betania. Bahkan Ia menunda untuk pergi ke sana dua hari lamanya. Ia berkata bahwa sakitnya itu tidak akan membawa kepada kematian, namun akan menunjukkan kemuliaan Allah. Pada akhirnya kita tahu bahwa Lazarus meninggal. Ketika Yesus tiba di rumah Maria dan Martha, Lazarus sudah empat hari berada di makam. Karena kasih-Nya yang besar, Lazarus dibangkitkan dari mati. Peristiwa itu sungguh menjadi tanda akan kebesaran Tuhan.
Sahabat, apakah semuanya berjalan begitu mudah? Apakah Maria dan Martha yang mengirim kabar kepada Yesus bahwa saudara mereka sakit bisa memahami rencana Yesus itu? Kemungkinan tidak. Kemungkinan mereka juga dongkol. Mengapa Ia yang bisa mengobati banyak penyakit tidak mau datang menyembuhkan Lazarus. Mereka mungkin juga kecewa. Kecewa karena merasa memiliki hubungan yang dekat dengan Yesus tetapi di saat dibutuhkan, Yesus malah tidak hadir.
Apakah pengalaman itu kemudian menggoyahkan iman mereka? Ternyata tidak. Ketika pada akhirnya mereka berjumpa dengan Yesus, mereka tidak marah. Mereka tidak mengungkapkan kejengkelan dan sakit hati. Sebaliknya, mereka mengungkapkan iman mereka yang besar. Memang ada kekecewaan yang diungkapkan, tetapi kekecewaan itu tidak mengurangi iman mereka akan kebesaran Allah.
Mari kita simak kata-kata Martha yang menjumpai Yesus di tengah jalan. “Tuhan, sekiranya Engkau ada di sini saudaraku tidak akan mati”. Kata-kata ini mengandung nada kekecewaan. Mengapa Engkau tidak ada di sini sehingga saudaraku mati? Namun kekecewaan Martha tidak berujung kepada kemarahan. Imannya lebih kuat dari rasa kecewa dan sakit hati. Kemudian ia melanjutkan, “Tetapi sekarangpun aku tahu, bahwa Allah akan memberikan kepada-Mu segala sesuatu yang Engkau minta kepada-Nya”. Luar biasa! Betapa hebat iman Martha. Meski dia sedih dan kecewa, namun ia tidak kehilangan iman. Martha berusaha melihat rencana Tuhan meskipun dia tidak memahaminya. Dia berusaha berjalan dalam rancangan Tuhan meskipun itu terasa sangat berat.

Jalan Kontemplasi = Jalan Menjalin Relasi
Sahabat, perjalanan meniti relasi kasih dengan Allah bisa dikatakan sebagai jalan rohani menuju jalan kontemplasi. Pemahaman tradisional mengenai jalan-jalan rohani membagi tiga tahap jalan spiritual. Pertama adalah jalan pemurnian kemudian jalan penerangan dan terakhir jalan persatuan. Tahap pertama bisa dikatakan sebagai jalan asketis, di mana usaha manusia sangat dominan. Sementara itu jalan kedua dan ketiga bisa disebut sebagai jalan mistis di mana usaha manusia sudah hilang. Hanya Roh Allah yang bekerja.
Keluarga Betania yang saya gunakan sebagai contoh di atas bisa mewakili ketiga tahap jalan rohani ini. Martha, Maria dan Lazarus masing-masing seperti mewakili mereka yang berada dalam jalan-jalan menuju kepada persatuan dengan Allah. Martha mewakili mereka yang masih dalam tahap pemurnian. Sementara itu Maria dan Lazarus mewakili mereka yang berada dalam jalan penerangan dan persatuan.

Relasi Kasih Martha
Sosok Martha adalah gambaran pribadi yang umum kita kenal. Mereka yang berusaha mengenal Allah dan melayani Allah. Mereka menggunakan daya-daya lahir, kemampuan mereka untuk bisa mendekat kepada Allah. Mereka melayani Allah dengan apa yang mereka miliki. Hal ini tidak salah, namun tidak cukup.
Dalam pertumbuhan rohani, sikap seperti yang ditunjukkan oleh Martha dikenal sebagai jalan pemurnian. Apakah yang dimurnikan? Motivasi dan ketekunannya. Banyak orang berkata "ingin melayani Allah dan mengikuti-Nya lebih dekat". Namun sedikit saja yang sungguh-sungguh memiliki ketulusan untuk bisa melayani Allah dan mengikuti-Nya lebih dekat dalam segala kondisi. Banyak yang menyerah di tengah jalan, apalagi jika terhantam banyak persoalan yang seolah tak terpecahkan.
Mari kita tengok Martha ketika Yesus dan para murid-Nya singgah di rumahnya. Dia sibuk melayani di dapur. Mungkin menyiapkan minuman dan aneka makanan. Tentu repot sekali karena banyak orang yang mengikuti Yesus. Dia tentu tidak ingin malu sebagai tuan rumah. Dia ingin menjamu seluruh tamu sepantasnya. Bekerja sendirian di dapur, mungkin juga dibantu beberapa pelayan, namun itu tidak cukup.
Betapa kecewa hati Martha ketika dia sibuk bekerja "melayani Allah" dan pada saat yang sama Maria saudarinya malah enak-enakan duduk di kaki Yesus. Iapun mendekati Yesus dan mengungkapkan kekecewaannya. Ia meminta kepada Yesus agar Maria sudi membantu dia di dapur. Ungkapan kecewa Martha ini sangat manusiawi. Hampir setiap dari kita mengalaminya. Mengalami kekecewaan terhadap Tuhan karena merasa kita sudah bekerja sangat giat, berdoa sangat giat, tetapi Tuhan seolah diam saja. 
Tahap awal dalam perjalanan kontemplatif, perjalanan menuju persatuan dengan Allah ini ditandai dengan usaha manusia yang sangat keras. Namun juga mudah jatuh ke dalam kekecewaan dan berhenti berusaha. Pada tahap ini masih sangat dirasakan keinginan untuk mendapatkan hasil secepat mungkin. Misalnya, kalau saya sudah berdoa selama satu jam sehari, saya harus mendapatkan hasilnya dalam waktu satu bulan. Hasil itu bisa bermacam-macam jenisnya. Salah satunya adalah terhindar dari kesulitan-kesulitan. Dan ketika itu terjadi kita akan kecewa dan marah kepada Tuhan. Ini adalah godaan terbesar dalam tahap pemurnian, yaitu menilai sesama dan marah kepada Tuhan. 

Relasi Kasih Maria
Dalam beberapa kisah, Maria senantiasa ditampilkan dekat dengan Yesus. Bahkan dalam setting keluarga Betania, ketika Yesus berkunjung ke sana, ditampilkan dengan jelas bahwa Maria duduk manis dekat kaki Yesus sedangkan Martha sibuk bekerja di dapur. Gambaran apakah sosok Maria ini?
Dalam jalan rohani, sosok Maria menggambarkan jalan penerangan. Pada tahap ini disebut juga jalan mistis. Artinya, peran Tuhan sangat besar. Sedangkan peran manusia lebih kecil kadarnya. Peran manusia di sini hanyalah berserah dan tetap berada dalam hadirat Tuhan. Itulah yang dilakukan oleh Maria, setia berada di kaki Tuhan. Setia berada dalam hadirat Tuhan.
Apa yang diperankan oleh Maria kelihatannya sepele dan kurang berarti. Dia hanya kelihatan diam di tempat dan tidak berbuat apa-apa. Benarkah demikian? Tentu saja tidak. Untuk bisa setia duduk diam di hadirat Tuhan, dibutuhkan kemauan dan tekat yang besar. Ada banyak godaan dalam diri kita untuk melakukan banyak hal. Padahal yang dibutuhkan adlaah duduk diam di bawah kaki Tuhan. Yesus sendiri memberi penjelasan bahwa "Maria telah mengambil bagian yang terbaik".
Atau dalam contoh lain, ketika kita hendak mengheningkan diri masuk ke dalam doa meditasi. Biasanya kita digoda dengan banyak pikiran-pikiran melayang yang memenuhi budi dan sanubari. Pada akhirnya kita gagal untuk hening bahkan sebentar saja. Mungkin kita bisa diam, tetapi hati dan pikiran berkelana ke mana-mana. Maka duduk diam di kaki Tuhan adalah pekerjaan besar. Di sana pribadi membuka diri dan hati untuk setiap Sabda yang keluar dari mulut Tuhan. Hati dan budi siap membaca dan mendengarkan apa yang dimaui oleh Tuhan. Tentu saja, duduk diam di sana tidak dilakukan selamanya. Pada Akhirnya nanti, dalam pertumbuhan hidup rohani yang lebih dalam lagi, sosok Maria dan Martha mestilah dilebur menjadi satu. Untuk ini akan saya jelaskan di lain kesempatan.

Relasi Kasih Lazarus
Dalam banyak kisah, Lazarus tidak pernah ditampilkan. Dia hanya disebut. Bahkan beberapa kali dikatakan Lazarus hadir di sana, tetapi tidak pernah ditampakkan pribadinya. Seperti apa rupanya, bagaimana karakternya, kita tidak pernah tahu. Dia seperti dibungkus malam yang gelap. Dia seperti berada dalam sebuah kubangan misteri yang amat sulit dipahami. Gambaran apa dan siapakah Lazarus ini? Apakah kita bisa mencontohnya?
Dalam pertumbuhan rohani, apa yang dialami oleh Lazarus ini bisa dikatakan sebagai jalan persatuan. Yang ada adalah roh sendiri. Di sana sepenuhnya adalah misteri ilahi. Manusia sungguh tidak berperan apa-apa. Bahkan akal budi tidak sanggup menelisik ke dalamnya untuk mengerti apa yang terjadi.
Kapankah jalan ini bisa ditapaki? Apakah ada yang mampu menapakinya? 
Jalan ini bisa ditapaki ketika seseorang sudah melewati jalan penerangan seperti yang digambarkan dalam sosok Maria. Tentu saja ada yang mampu menapakinya. Santa Teresa Avila menjelaskan hal ini dalam bukunya Puri Batin. Mereka yang sudah tiba dalam ruang ke enam dan ketujuh, mereka sudah mengalami persatuan dengan Sri Baginda. Persatuan ini tidak mampu dijelaskan oleh indra. Hanya iman yang mampu memahaminya.
Bagaimana seseorang bisa bertahan dalam jalan yang tak terpahami itu? Santo Yohanes dari Salib memberi resep sederhana. Berjalanlah seolah-olah Anda dituntun oleh orang buta. Percayakan diri kepadanya. Pejamkan mata dan teruslah melangkah. Mungkin kita tidak percaya kepada si penuntun. Mungkin kita merasa bisa berjalan sendiri, tetapi tetaplah pegang tangannya dan melangkahlah. Di sanalah iman dan cinta yang besar akan terwujud. 

Penutup
Sahabat, mungkin Anda bingung memahami paparan di atas, apalagi jika dikaitkan dengan ajaran Yesus agar kita mau mengetuk dan meminta dan kita akan diberi sesuai apa yang kita pinta. Paparan di atas hendak menjelaskan bahwa hal yang lebih dalam dari meminta adalah menjalin relasi kasih dengan Allah. Kedalaman relasi itu dapat kita ukur dari kemauan dan keberanian untuk membiarkan rencana Tuhan terjadi atas hidup kita. Ketika apa yang kita mau seolah tidak didengarkan Tuhan dan kita masih mau percaya kepada-Nya, itu adalah salah satu tanda bahwa kita mau mengupayakan relasi kasih yang benar-benar tulus dan mendalam.
Sebaliknya, jika relasi dengan Allah itu dipenuhi keinginan dan tuntunan, serta amarah jika tuntutan tidak segera dikabulkan, kita pantas mempertanyakan kedalaman dan ketulusan relasi kita dengan Allah. Relasi keluarga Betania (Maria, Martha dan Lazarus) dengan Allah bisa kita jadikan cermin dalam menjalin relasi dengan Allah. Kita tidak perlau bersedih kalau mendapatu diri kita masih jauh dari harapan, karena bukan itu yang pertama. Yang utama adalah kemauan untuk terus berjalan menuju Allah.
Semoga masa prapaskah ini memberi kita semangat baru untuk lebih dalam menjalin relasi dengan Allah. Hal-hal kecil dalam hidup harian kita bisa menjadi batu pijak untuk lebih dekat dengan-Nya. Namun kalau kita kurang hati-hati, pengalaman harian itu akan menghanyutkan kita hingga pada akhirnya jauh dari Allah.  Semoga itu tidak terjadi dalam hidup kita. semoga kita semakin dekat dengan-Nya dan pada akhirnya ikut menang bersama-Nya.

Salatiga, 26/02/2013

Comments

Popular Posts