Pedas itu Hidup

Judul tulisan ini spontan muncul tatkala saya menikmati pedasnya soup Tom Yum di Chili Café. Sore hari setelah jalan-jalan menikmati kota. Udara segar ditimbus angin yang membuat kuah panas dan pedas itu terasa nikmat sekali.
Pedas adalah salah satu ciri masyarakat Indonesia. Suatu siang setelah pemberkatan rumah kami menikmati hidangan tahu isi. Di sampingnya ada dua botol sambal. Rasanya kurang lengkap menyantap tahu isi tanpa sambal. “Indonesia gitu loch!” seloroh seorang teman.

Kenapa kebanyakan orang asia menyukai masakan yang pedas? Mungkin tidak semua orang setuju kalau dikatakan semua orang, namun rata-rata menyukainya.
“Pedas itu penambah semangat hidup frater” kata seorang bapak tua di pesisir selatan Jember. Waktu itu saya bertanya, kenapa pecelnya begitu pedas. Mereka membuat dua menu, pecel pedas dan pecel sedang. Bagi saya, yang sedang saja sudah pedas, apalagi yang pedas. Padahal saya penyuka makanan pedas.
Pedas itu membangkitkan semangat. Semangat untuk menghadapi kehidupan yang berat dan sulit. Kebanyakan masyarakat desa menyukai menu-menu yang pedas. Mereka jarang membuat sambal, namun masakannya dibuat pedas. “Kami merasa hidup kalau menikmati yang pedas.”
Kemudian saya renungkan bahwa tatkala seseorang disengat rasa yang pedas ia akan terjaga. Mata akan terbelalak, keringat akan mengucur, mulut mendesis-desis kepedasan, namun badan menjadi segar. Meski bisa terjadi perut mulas dan mesti mengunjungi kamar kecil terus menerus.
Ketika hidup dihantam peristiwa-peristiwa yang pedas, ia akan bereaksi, menggeliat atau bahkan berdiri untuk berjaga-jaga. Hantaman rasa pedas menyadarkan seseorang dari rasa nyaman yang melenakan. Hantaman rasa pedas itu juga menyakitkan.
Meski menyakitkan, seseorang perlu merasakan ‘makanan yang pedas’. Agar seseorang sungguh menjadi manusia, ia mesti pernah menikmati sesuatu yang pedas. Dengan pernah mengalami peristiwa-peristiwa yang pedas, ia akan sangat mensyukuri manis dan asinnya kehidupan. Jika seseorang tidak pernah merasakan sesuatu yang pedas, ia tidak akan pernah tahu bagaimana panasnya mulut tersengat. Bahkan bukan hanya mulut, juga perut dan bagian badan yang lain.
Pedas itu hidup. Yang membuat hidup menajdi semakin hidup. Membuat seseorang terjaga dan sadar. Namun seseorang tidak boleh terus menerus menikmatis esuatu yang pedas. Ia mesti imbang hidupnya. Terkadang menikmati yang manis, yang asin, yang asam, juga yang hambar. Jika terus menerus menikmati yang pedas, ia akan jatuh sakit.
Demikianpun kehidupan. Pengalaman pedas, rasa panas dan perih, jangan terus-menerus dialami. Sesekali perlulah mengalami itu, namun jika terlalu sering kasihan, ia bisa ‘jatuh sakit’. Cukuplah jika seseorang pernah mengalami, hingga ia sungguh bisa mensyukuri apa yang ia cecap sekarang. Jika memang ada yang belum pernah mengalami seperti apa hantaman rasa pedas, ia boleh mencoba. Atau jika tidak berani mencoba, cukuplah kalau bisa memahami dan berempati.
Semoga hari-hari Anda menyenangkan. Bahkan ketika mengalami pengalaman yang terasa pedas di hati. Nikmati saja, karena itu baik untuk Anda.
Tuhan memberkati.
Melbourne, 17-01-10 (09.47pm)
Romo Waris, O.Carm



Comments

Popular Posts