Laskar Pelangi

Tadi sore aku nonton film Laskar Pelangi. Yah, pasti sudah banyak yang nonton, toh masih menarik, dan lagi aku belum nonton. Dua tahun yang lalu aku membaca bukunya, membuat kelompok diskusi mengenai buku itu. Toh masih pingin nonton.
Tetap menarik, tetap memesona. Laskar Pelangi adalah kisah hidup kita bersama. Melihatnya kita diajak bercermin, melihat kehidupan kita. Sejatinya, banyak di antara kita ini seperti Ikal. Memiliki kemampuan yang cukup, namun dianugerahi keberuntungan yang besar. Sedangakan ada orang lain yang seperti Lintang. Berbakat luar biasa namun kurang beruntung.
Saat membaca bukunya dulu, aku belum memiliki kesadaran seperti sesudah menonton filmnya, bahwa kisah Laskar Pelangi adalah kisah kita bersama. Aku teringat dengan temanku Sutikno, Agustinus Sutikno. Aku kenal dia ketika duduk di bangku kelas 3 hingga kelas 6 SD. Aku siswa pindahan, karena orangtuaku berpindah rumah menuruti kehendak orangtua mereka. Maka aku mesti ikut pindah juga.
Di kelas ini ada Sang Bintang, juara kelas tak tergantikan, Sutik namanya. Dari kelas satu hingga kelas enam cawu 2 (waktu itu masih menggunakan sistim catur wulan) dia selalu juara kelas. Dia bukan hanya cerdas dalam bidang berhitung, dia juga seorang seniman. Puisi-puisinya sangat bagus dan suaranya pun merdu. Hanya kekurang beruntungan yang membuat nilai Ebtanas Murninya jatuh. Di akhir ujian nilainya jatuh.
Ada banyak hal yang membuat nilainya jatuh, salah satunya adalah kemiskinan. Itu pula yang membuat ia tidak bisa melanjutkan sekolah SMP. Ia berhenti di setamat dari SD. Kemiskinan membuatnya menentukan pilihan, bekerja. Hal itu ditambah ketika ayahnya mengalami serangan stroke hingga wafatnya.
Sutik hanya satu contoh. Masih ada 'Lintang-Lintang' di sekitar saya yang mesti mengubur dalam-dalam cita-cita hidupnya hanya karena masalah kemiskinan. Beberapa kakak kelasku sewaktu SD, mereka yang juara kelas, banyak yang tidak bisa melanjutkan sekolahnya karena harus bekerja.
Sampai saat ini, ketika aku menjadi seorang guru, ada banyak murid yang harus berjuang dengan keras agar bisa sekolah. Mereka (juga orangtuanya) berhemat bahkan berpuasa agar anaknya bisa mendapat pendidikan. Tetapi aku juga melihat ada banyak anak yang memiliki sarana, kesempatan, dan fasilitas yang sangat lengkap tetapi gagal karena tidak menggunakan dengan baik. Melihat itu tentu saja aku geram, tetapi mau apa.
Setiap anak berhak mendapatkan pendidikan yang pantas. Apa pun keadaannya berhak mendapatkan pendidikan. Setiap orang yang mampu membantu banyak orang untuk mengenyam pendidikan yang pantas adalah orang-orang mulia.
Ada banyak anak yang membutuhkan bantuan. Mereka terhalang, bahkan terbelenggu oleh kemiskinan. Siapa yang peduli?

Comments

Streetways said…
Masalah seperti inilah yang seharusnya di dengarkan bukan hanya Dempo tetapi seluruh orang di dunia...
MoRis HK said…
Iya, ini masalah kita, seluruh dunia, bersama. Selagi kita punya kesempatan, kita harus bisa berbagi.

Popular Posts