Kebingungan

Perjalanan kami ke Beijing diwarnai kebingungan-kebingungan dan kelegaan-kelegaan. Maklumlah orang desa pergi ke kota, bahkan ini lebih dari kota; orang udik pergi ke luar negri. Meski sudah bertanya ke sana ke mari, tetap saja kamu menjumpai kebingungan-kebingungan. Syukurlah banyak hal berjalan lancar dan memberi banyak kelegaan.



Kebingungan kami yang pertama adalah mengenai pengurusan visa. Kami begitu bingung, terutama teman saya Rm. Kwek, sebab hingga satu hari menjelang keberangkatan, visanya belum jadi. Mereka yang sudah berpengalaman ke luar negri pun akan kebingungan jika visa belum jadi pada hari harus pergi. Kami akan berangkat tanggal 23 Maret, sebab sore hari tanggal 24 Maret kami sudah harus memberi rekoleksi. Saya sempat berpikir negative, yaitu berangkat duluan, sedangkan rm. Kwek berangkat menyusul. Syukurlah hal itu tidak perlu terjadi dan kami sedikit bisa bernafas lega setelah pihak travel agent meyakikan kami bahwa mereka bisa menguruskan visa dalam tempo satu hari. Dan benar, pihak travel agent yang mengurus permohonan visa mengabarkan bahwa visa Rm. Kwek baru jadi tanggal 23 jam 12 siang.
Meski telah ada kabar bahwa visa sudah jadi, kebingungan kami belum hilang sepenuhnya. Sisa kebingungan kami adalah bagaimana mengambilnya karena kami mesti mengambi sendiri visa terebut. Maka dengan sedikit kebingungan yang mash menggelayut kami berangkat ke Surabaya. Hari itu Jumat 23 Maret pukul 12.00 kami meninggalkan Malang.
Seperti yang saya katakana, kami amsih digelayuti kebingungan karena visa itu harus kami ambil di Surabaya di jalan Sulawesi. Tepatnya di Hariyono travel cabang Surabaya. Kami bingung karena kami tidak tahu tempat itu. Sekali lagi, orang kampung masuk kota, benar-benar katro`. Setelah Tanya sana-sini akhirnya tempat itu kami temukan juga. Saat itu kami 90% lega. Kami sudah siap terbang, tapi masih ada kebingungan juga. Yahhh… pokoknya serba bingung. Namun kami tidak ma uterus larut dalam bingung. Setelah visa kami dapatkan, perut kami langsung berteriak. Maka kami putuskan untuk mencari makan sebelum amsuk bandara. Mas Joko yang menghantar kami memberitahukan untuk makan di Pondok Tempoe Doeloe. Katanya sih enak. Sebenarnya bagiku rasa tidak masalah, yang penting ada sesuatu untuk mengganjal perut.
Pesawat kami terbang jam 18.00, dan sekarang baru pukul 14.30. kami masih punya waktu sekitar satu setengah jam untuk santai sejenak di warung ini. Namanya Pondok Tempoe Doeloe, tapi suasananya tempo sekarang. Mungkin warna catnya terlalu cerah sehingga suasana dulunya kurang terasa. Aku makan cukup lahap, selain karena emang lapar, aku nggak mau kelaparan di pesawat. Sekali lagi sungguh katro`. Kami ga berpikir bahwa di pesawat nanti diberi makanan, yang aku pikirkan bagaimana makan yang cukup sampai besok pagi. Setelah cukup puas makan kami meluncur ke bandara. Bandara ini baru, baru saja diresmikan, maka mas Joko masih agak bingung mencari tempat masuknya.
Tempat parkir yang luas dan petunjuk yang agak membingungkan membuat kami berputar-putar cukup lama di parkiran. Meski pada akhirnya menemukan jalan, kami agak malu juga karena putar-putar terus. Kami turun di pemberangkatan domestik, karena penerbangan dari Surabaya ke Jakarta naik penerbangan domestik. Hal ini membuat kami bingung juga. Perkiraan kami bahwa naik pesawatnya di kelompok domestic ternyata keliru. Untuk pesawat Garuda, terminal untuk jalur penerbangan internasional dan domestic di jadikan satu, maka kami harus berjalan lagi jauh, dan ini cukup melelahkan karena bawaanku berat dan harus aku cangklong.
Setelah longok kanan dan longok kiri akhirnya kami tiba di tempat check in. Di sana kami meminta agar barang bawaan saya diterbangkan langsung di Beijing, jadi saya tidak mau repot dengan barang-barang itu di Jakarta. Setelah prosedurnya jelas kami masuk ke ruang tunggu. Untuk sementara kami tenang, sebab sudah duduk di ruang tunggu dan sebentar lagi terbang menuju Jakarta. Sebagian ketegangan sudah hilang, di ruang tunggu aku mencoba untuk baca-baca, sekedar mengumpulkan ide untuk memberi rekoleksi. Kurang lebih setengah jam kami menunggu dan akhirnya masuk pesawat dan terbang ke Jakarta. Tanpa dinyana Rm. Kwek bertemu dengan mantan mahasiswinya ketika ia menjadi dosen di Unej dulu. Si mahasiswi kelihatan gembira bertemu dengan mantan dosennya. (ternyata emang dunia itu sempit banget, kirain kalo udah di bandara ga akan dikenal, eeeeeee… nyatanya.)
Penerbangan Surabaya-Jakarta berjalan lancer-lancar saja, meski ada sedikit geronjal-geronjal karena melewati awan. Perjalanan ditempuh selama 1 jam 20 menit. Setiba di bandara kami langsung menuju bagian imigrasi. Sekali lagi karena ndeso dan katro` kami bingung mencari di mana imigrasi itu. Setelah muter-muter akhirnya ketemu juga.
Kebingungan belum selesai. Ketika check in kelar kami mesti bayar fiscal. Di ruangan itu ada tempat besar pembayaran fiscal, tetapi kami dibingungkan dnegan keterangan formulir bebas fiscal. Melihat banyak orang mengisi formulir itu, kami pun mengisinya. Ternyata kami keliru. Keterangan bebas fiscal itu hanya berlaku bagi para pelaut. Yah…udah capek-capek ngisi form yang begitu banyak ternyata salah. Setelah bertaya akhirnya kami tahu bahwa untuk membayar fiscal ga perlu mengisi form, cukup menunjukkan passport dan memberikan uang sebesar 1 juta rupiah (..hemmmm … rupanya sederhana saja.)
Selesai membayar fiscal kami memasuki imigrasi. Semua lancer, ditanya mau ke mana, dikomnetari `kok enak liburan`, dst… (cerewet banget, ngapain juga ngasih komentar, toh dia ga memberi uang saku. Huh!). Selesai urusan di imigrasi kami mencari Gate E7. kami susuri lorong dengan kode Gate E dan F. Kami terus mencari tanda di mana Gate E7 itu. Kami terus berjalan dengan bawaan di bahu. Sudah cukup jauh kami berjalan, kaki pun sudah terasa pegal tetapi Gate E7 belum ketemu. Sesudah yakin bahwa kami tersesat, kami putuskan balik arah. Kami teliti dengan lebih cermat semua petunjuk yang ada. Rupanya papan yang seharusnya menjadi penanda Gate E7 mati. Pantas saja kami tidak melihatnya. Sialnya lagi tempat itu tidak jauh dari imigrasi, padahal kami udah berjalan sangat jauh. Yah, tidak apalah. Itung-itung latihan di Beijing nanti.
Setelah masuk ruang tunggu, kami menjadi penumpang pertama yang menunggu pemberangkatan ke Beijing. Namun tak seberapa lama ada seorang gadis yang masuk. Mulanya saya cuek saja, namun diam-diam ia memperhatikan kami. Ketika ia mengetahui bahwa kami juga mau ke Beijing, ia menyapa kami.
“Hallo Mas, mau ke Beijing ya?”
“Iya”, jawab Rm. Kwek.
Kemudian kami mulai ngobrol. Tentang asalnya yang di Lampung, tentang pekerjaannya dulu di Singapura, mengenai ketidaksukaannya akan Beijing dan kecintaannya akan Singapura, dst. Dia juga bertanya ngapain kami ke Beijing, kok enak jalan-jalan, dst. Kesempatan itu kami pergunakan untuk bertanya perihal nanti di imigrasi bagaimana, biasanya ditanya apa, dst. Sampai akhirnya kami memasuki pesawat dan terbanglah kami ke Singapura.
Jam sudah menunjukan pukul 22.00 waktu Jakarta, sudah malam. Namun mata ini tidak juga mau terpejam, lain halnya dengan Rm. Kwek, begitu di pesawat, ia cepat tertidur. Nyaman sekali. Perjalanan ke Singapura memakan waktu 1 jam dan 20 menit. Sampai di sana sudah tengah malam. Kami memiliki waktu 30 menit untuk jalan-jalan di bandar udara Cangi yang hebat itu. Karena tengah malam maka suasana bandara tampak lengang. Setelah 30 menit kami kembali masuk pesawat dan memulai perjalanan panjang kami selama 6 jam menuju Beijing.
Kebetulan saya duduk di pinggir jendela. Karena malam hari saya tidak bisa melihat apa-apa. Ingin rasanya saya tidur, sebab seperti yang dipesankan panitia, kami diharapkan bisa istirahat di pesawat agar tidak terlalu lelah. Namun mataku tidak mau kompromi padahal Rm. Kwek di sebelahku begitu pulas tertidur. Aku nikmati malam itu dengan nonton film yang disajikan Garuda Indonesia. Setiap ada sajian yang ditawarkan aku selalu ambil, demikian pun dengan minuman.
Menjelang pagi semburat merah mulai menjalar di angkasa. Aku senang sekali bisa menikmati pagi dari udara. Pandanganku terus tertuju ke jendela, jangan sampai kehilangan sedikit pun moment indahnya pagi. Karena sudah pagi Rm. Kwek saya bangunkan, biar dia juga merasakan indahnya pagi dari udara. Satu jam sebelum mendarat kami diberi sarapan. Makan lagi! Lumayan enak! Bahkan semua yang dihidangkan ludes. Hemmm ndeso! Setelah makan pramugari mengedarkan blangko untuk diisi mengenai identitas kami dan tujuan kami ke Beijing. Ketika menerima blangko itu kami hanya terbengong-bengong. Kami diberi blangko dengan bahasa Mandarin, mana bisa kami mengisinya. Semua seperti gambar kaligrafi begitu. Akhirnya kami menukarnya dengan yang berbahasa Inggris. Ini pun kami mengalami kesulitan. Maklum Inggris kami nilainya c minus panjang, jadi kebingungan juga. Untunglah teman sebangku kami mengerti sedikit bahasa Inggris, maka ketika kami bertanya dia bisa menjelaskan. Lega!
Akhirnya pesawat mulai terbang rendah. Kota Beijing mulai nampak dari udara. Gedung-gedung tinggi dan alam yang gersang. Tidak nampak hutan sama sekali, begitu berbeda dengan Indonesia. Syukurlah kita masih punya hutan, jangan dirusak teruslah. Dannnn…dannn akhirnya mendarat. Semuanya berjaan lancer, tidak ada kendala, tidak ada rintangan.
Sekarang saat yang mendebarkan tiba. Imigrasi! Betapa terkejutnya kami begitu kami sampai di imigrasi ternyata di sana ada banyak sekali manusia. Semua sedang ngantri masuk Beijing. Ratusan orang, pertanda banyak orang suka berkunjung ke sana. Di sini pun kami kebingungan. Kami harus ngantri di mana. Setelah tengok kanan kiri akhirnya kami tahu bahwa kami mesti ngantri di bagian foreign. Kemudian kami mencocokkan data yang kami tulis diblangko dengan contoh yang tertera di sana. Setelah yakin benar kami mulai ngantri.
Makin dekat giliran kami, makin jantung ini berdegup kencang. Saya lepas topi yang terus saya kenakan, kemudian rambut saya rapikan agar tidak menampakkkan tampang preman. Saya mencoba memasang senyum di wajah saya meski kecut karena belum mandi. Giliran saya pun tiba. Saya maju dan menyerahkan semua dokumen yang ada. Petugas itu tidak menanyai saya saatu patah kata pun. Dia hanya memandang wajah saya dan sudah, begitu saja. Dokumen dikembalikan dan saya melangkah pergi.
Ingin rasanya saya meloncat kegirangan, namun perjalanan belum berakhir. Saya masih menunggu Rm. Kwek di belakang. Setelah dia menyelesaikan urusannya, kami pun mencari pintu keluar. Sangat jelas di benak kami bahwa kami mesti mencari pintu keluar dengan tulisan non declare. Setelah tengok kanan kiri akhirnya pintu itu kami temukan. Wuih luuuueeeeggaa rasanya begitu pintu itu kami lewati.
Tetapi betapa terkejutnya saya ketika petugas bandara menghentikan saya. Ia meminta melewatkan barang saya di tempat pemeriksaan. Padahal orang lain tidak. Saya turuti permintaannya. Barang bawaan saya, saya masukkan ke tempat pemeriksaan dan tas serta rangsel saya mengalir begitu saja. Tidak berbunyi apa-apa. Haaahhhhh lega. Anggur yang aku bawa selamat. Semua selamat. Aku benar-benar ingin berteriak BEIJING AKU DATANGGGGGGGG.
Ketika melangkah keluar aku lihat wajah yang sangat aku kenal, Koh Agung. Teman seperjuangan yang banyak mengajariku bagaimana caranya mengisi hidup agar menjadi berarti. Di sampingnya ada dua orang yang aku yakin adalah panitia. Puji Tuhan aku sampai dengan selamat dan bertemu dengan orang-orang yang baik. Namun petualangan belum selesai, bahkan baru mulai. Ikuti kisah berikutnya yang pasti seru. (bersambung)

Comments

Popular Posts